Dering alarm membangunkanku dari tidur singkat. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Aku bergegas merapikan tempat tidur dan bersiap-siap untuk pergi mendaftarkan diri ke perguruan tinggi bersama teman-temanku. Ya, aku baru saja menyelesaikan Sekolah Menengah Atas.
“Mau kemana kamu?” Sapa ayahku pagi itu saat ia menyeruput kopinya.
“Mau daftar kuliah, Yah.” Jawabku agak ragu. Ayahku adalah tipe orang yang tidak begitu mementingkan pendidikan. Dia percaya bahwa gelar sarjana tidak akan menjaminmu untuk mendapatkan pekerjaan yang kamu inginkan.
“Sudah berapa kali sih ayah bilang? Gak ada gunanya kamu kuliah. Ujung-ujungnya kamu berakhir didapur.”
“Maaf, Yah, aku harus pergi. Aku udah ditungguin temen.” Menyalami ayah sambil buru-buru mencari ibuku untuk berpamitan. Berbeda dengan ayahku, ibu tidak melarangku sama sekali untuk melanjutkan pendidikan seperti yang aku inginkan. Hanya saja ibu tidak banyak berbicara mengenai itu didepan ayahku. Ibu memang peduli padaku, tapi tetap saja kami jarang berkomunikasi secara intens.
Keluargaku memang tidak seperti keluarga lain yang membicarakan semua planning keluarga secara terbuka. Terlebih ketika keluargaku sedang mengalami masalah finansial yang mengharuskan kami untuk pindah kerumah Oma, ibu dari ayahku. Bisnis kuliner yang dijalankan oleh ayahku sedang mengalami penurunan. Aku sangat memaklumi sikap ayahku mengenai pandangannya terhadap rencanaku. Tapi dari dulu aku selalu berusaha mendapatkan nilai yang baik, sehingga aku dapat menggunakannya untuk mencari beasiswa agar aku bisa melanjutkan pendidikanku tanpa harus membebani keluarga.
Setelah menyalami ibu, aku bergegas menemui temanku Fara dan Alisha yang dari tadi sudah menunggu. Alisha berasal dari keluarga yang berkecukupan. Dia cantik dan memiliki postur tubuh yang curvy, namun tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan Fara, ia tak jauh beda dariku. Kami sama-sama bertubuh kurus, tapi Fara jauh lebih tinggi semampai. Kami juga terlahir dari keluarga yang sederhana. Hanya saja Fara selalu mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya dalam setiap langkah dihidupnya.
“Lama banget woiii!!” Kata Alisha sambil menyalakan mobil.
“Peace!” Aku mengacungkan dua jari dan berusaha menutupi perasaan gundahku.
***
Derasnya hujan membasahi kota kecilku sore itu. Aku dan kedua temanku masih meyibukkan diri dengan kerumitan proses pendaftaran beasiswa untuk perguruan tinggi. Pikiranku hanya tertuju pada satu universitas di luar kota yang sekiranya dapat aku jadikan alasan untuk bisa membuatku belajar hidup mandiri. Jakarta adalah kota yang menjadi target utama untuk memulai semuanya.
Kami bertiga sepakat memilih universitas yang sama dengan jurusan berbeda. Jujur saja aku tertarik dengan jurusan Psikologi. Masalah keluarga yang muncul secara terus menerus membuatku stress dan ingin mengenal lebih jauh tentang diriku sendiri dengan mempelajari ilmu yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan. Untuk pilihan kedua, aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi, berhubungan dengan Public Realtions yang menurutku cukup menarik karena selain bisa meningkatkan rasa percaya diri, jurusan itu bersifat lebih universal. Aku juga perlu memikirkan prospek kerja yang banyak dan beragam, serta yang sekiranya tidak begitu jauh dari kota kecilku. Aku sangat berharap bisa diterima dan mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikanku.
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami bersiap untuk pulang. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam memikirkan bagaimana reaksi ayah jika aku berhasil mendapatkan beasiswa ini. Apakah ayah akan bangga? Atau apakah ayah akan tetap pada pendiriannya?
“Han, kamu kenapa sih? Dari tadi kaya gak ada semangat hidup.” Kata Fara memperhatikanku dari depan.