Tugas demi tugas berdatangan tanpa henti. Hampir semua tugas mengharuskan untuk tampil berbicara didepan umum, yang mana membutuhkan energi dan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Dan jika boleh jujur, aku sudah mulai jenuh dengan semua ini. Resiko jurusan? Pasti. Kami memang dituntut untuk tampil sempurna. Mau tidak mau aku harus bertanggungjawab dengan jurusan pilihanku.
Untuk sedikit melepas rasa penat, aku dan beberapa teman kampusku memutuskan untuk nongkrong disebuah kafe. Aku dan Sophie sudah mulai merasa dekat dengan Kevin cs. Hingga saat ini hanya ada sekitar sepuluh orang yang menjadi teman akrabku. Kami cukup sering menghabiskan waktu bersama. Beberapa diantara mereka juga membawa pasangannya. Fachri menjadi satu-satunya yang berstatus jomblo diantara mereka. Oleh karena itu ia cukup sering menjadi bahan tertawaan yang lain.
Jujur saja aku tak malu dengan status jombloku. Tapi mungkin bagi sebagian orang, masa muda tanpa pasangan adalah sesuatu yang cukup memalukan. Mereka juga sudah mulai mengetahui bahwa aku sudah lama berstatus tersebut. Mereka membuat lelucon yang sama dilontarkan ke Fachri, bahkan mereka seperti menjodoh-jodohkanku dengan Fachri.
“Yaudah bro, lo sama Hanna aja. Kan udah sama-sama karatan.” kata Azka menertawakan Fachri.
“Gue gak karatan banget woi! Mending gue jomblo dari pada sama Hanna.” jawab Fachri.
“Lah emang gue kenapa?” tanyaku bercanda.
“Yah lo ngaca aja. Lo coba operasi dada sama muka deh. Baru tuh cowok-cowok pada ngantri.”
Aku terkejut mendengar komentar Fachri. Aku mulai berpikir apakah selama ini aku tidak memiliki pacar karena fisikku yang sangat tidak menarik? Aku memang terlahir kurus dan tidak tinggi seperti Sophie. Tapi selama ini aku cukup percaya diri dengan bentuk tubuhku. Bukankah tubuh kurus menjadi impian para wanita? Kamu bisa makan sepuasmu tanpa memikirkan timbangan. Tapi apakah ini juga masalah wajah? Kulitku memang tidak begitu bersahabat. Hormon yang tidak stabil membuat jerawat-jerawat kecil tumbuh di area wajahku. Aku melakukan banyak cara untuk menghilangkannya, tapi tetap saja muncul.
Beberapa dari mereka tertawa. Aku berusaha menutupi ketidaknyamananku terhadap komentar Fachri. Ah, mungkin dia hanya bercanda, pikirku menenangkan diri. Ketika hari sudah semakin malam, kami memutuskan untuk pulang. Tadinya aku pergi kesini bersama Sophie, tapi Sophie ada urusan mendadak dan tidak bisa mengantarku pulang. Aku meminta salah satu dari Kevin cs untuk mengantarku, tapi tak satupun dari mereka menerima. Mereka juga punya urusan masing-masing yang harus dikerjakan setelah ini. Hmm, atau memang mereka yang malu mengantarku pulang. Entahlah, jujur saja aku sedih dan malu dengan penolakan mereka, tapi aku tak punya pilihan. Akhirnya aku mencari ojek online untuk bisa pulang.
Ketika menunggu ojek online pesananku, aku melihat dua orang remaja, perempuan dan laki-laki sedang duduk bermesraan didepan mataku. Sepertinya mereka baru berusia sekitar 14-15 tahun. Aku mendengar si remaja laki-laki berkata “Sayang, ntar kalo kamu udah sampai dirumah, jangan lupa kabarin aku yaah.” sambil mengelus rambut pacarnya. Si remaja perempuan menjawab “Iya, sayang. Kamu main gamenya besok aja, please. Malam ini kita telfonan yaah?”. Holy shit. What the fuck am i seeing? Aku malu mendengar percakapan mereka dan berjalan sedikit berjarak memisahkan diri. Sepertinya mereka disini menunggu jemputan orangtua. Gila, sebagai seseorang yang belum pernah menjalin hubungan, aku merasa cukup geli menyaksikan adegan tadi.
Sesampai dikamar, aku berbaring diatas tempat tidurku. Aku membuka handphone dan melihat lima panggilan masuk dari oma. Shit, aku tak sadar oma telah menghubungiku berkali-kali. Aku menghubungi oma, tapi suara oma terdengar lelah. Oma bilang semuanya baik-baik saja. Tapi sesuatu mengatakan bahwa ada yang sedang tidak beres. Oma hanya bercerita bahwa dia merindukanku sampai terbawa mimpi kemarin malam. Aku juga merindukan oma, tapi apa daya, kegiatanku disini juga masih menumpuk dan hari libur juga belum tiba.