Aku berlari kencang menuju rumahku. Sambil membawa raport dan piala ditangan kanan, aku tak sabar ingin menunjukkannya kepada kedua orangtuaku. Ayah dan Ibu pasti sangat senang. Dari kejauhan, aku melihat ayah dan ibu duduk di kebun samping rumah. Kakiku semakin kencang membawaku berlari kearah mereka sambil memanggil “Ayaaah, Ibuuu, aku juara kelas!!”. Karena terlalu bersemangat, aku hilang kendali dan tersandung batu didekat kebun.
Piala yang kubawa menjadi lecet dan kotor. Aku menangis sangat keras. Aku bahkan belum sempat memperlihatkannya kepada ayah dan ibu. Mereka menoleh kebelakang. Dengan wajah panik, mereka berlari menghampiriku.
“Kamu gapapa, Han?” kata ibu khawatir. Ayah membersihkan kakiku yang kotor karena tanah dan membawaku masuk kedalam rumah.
Aku menghentikan ibu yang mulai membersihkan lukaku. “Ayah, Ibu, aku juara 1. Tapi pialaku rusak,”kataku menjelaskan sambil menangis.
“Gak masalah, Nak. Ayah bangga sama kamu.” dengan wajah sumringah sambil memelukku. Mereka membuka raportku dengan senyum lebar.
“Ibu juga bangga banget sama kamu, Han. Kamu mau hadiah apa?” tanya ibu.
“Aku cuma mau jalan-jalan sama Ayah dan Ibu.” Mereka tersenyum dan memelukku erat.
Keesokan hari kami bersiap-siap. Ayah menyalakan mesin mobilnya. Kami memutuskan pergi ke sebuah taman untuk berpiknik. Disampingnya terdapat sebuah sungai dengan air yang sangat jernih. Pohon-pohon pinus yang tinggi juga memberikan kesejukkan saat duduk dibawahnya. Kicauan burung dan angin sepoi-sepoi seolah berbisik betapa indahnya tempat ini. Ayah membentangkan tikar, ibu menyusun makanan yaang sudah dipersiapkan. Sesekali kami tertawa mendengar jokes yang dilontarkan ayah. Hari yang sangat indah dan menyenangkan.
Aku terbangun dari mimpiku. Hangat. Indah sekali. Kami tak seperti orang asing yang tinggal ditempat pengungsian. Kami berbicara layaknya keluarga normal. Ayah dan ibu juga tersenyum dan memelukku dengan erat. This could be my best day. Aku sangat berharap itu nyata. Kenapa aku harus terbangun? Tak bisakah aku hidup didunia mimpi saja? Aku merasa sangat hidup disana. Aku merasakan kehangatan hubungan keluarga yang selama ini aku dambakan. Seandainya aku punya pilihan, aku akan memilih tidak bangun selamanya hanya untuk merasakan kebahagian keluargaku. Tapi apa boleh buat, harapan berbanding terbalik dengan kenyataan.
***
Stress membuat jerawat kembali bersemi diwajahku. Belakangan aku juga disibukkan dengan beberapa tugas yang menguras tenaga dan pikiran, sehingga aku tak begitu memperhatikan makanan yang ku konsumsi. Aku berjalan menuju toko tempatku bekerja yang kebetulan tak jauh dari asrama. Dengan wajah lelah dan murung, Pace Leo menanyakan keadaanku.
“Ay, nona. Nona trapapa, kah?” tanyanya khawatir.