Enam bulan berlalu. Salah satu ketakutan terbesarku terjadi. Hingga saat ini aku masih belum mendapatkan pekerjaan. Keuangan kami sangat menurun. Aset yang dulu disimpan Oma sudah habis untuk membayar biaya pengobatan Oma di rumah sakit, sisanya digunakan untuk membantu menjalankan bisnis ayah yang terpuruk. Aku mencoba banyak sekali lowongan kerja yang tersedia online, tapi masih belum ada hasil. Empat kali semiggu aku juga membantu ayah mengurusi bisnisnya.
“Udah setengah tahun kamu wisuda, Han.” Kata ayah datar.
“Iya, Yah. Aku masih usaha.”
“Usaha? 6 bulan ini Ayah cuma liat kamu bawa tidur ijazahmu.”
Aku terkejut mendengar kalimat ayah. Mengapa semakin kesini ayah semakin berpikiran sempit?
“Udah, Yah. Aku cape berdebat.”
“Kalo tau gini mending dari dulu kamu bantuin urus bisnis Ayah aja.”
“Aku bukan satu-satunya sarjana yang pengangguran, Yah. Fara dan Alisha juga sama kaya aku. Nyari kerjaan susah, aku butuh waktu.” Menggelengkan kepala, heran melihat ayah. “Pantesan ibu gak kuat ngadepin ayah.”
“Gak usah bahas wanita jalang itu.” Jawab ayah ketus.
“Gak ada yang lebih baik diantara Ayah dan Ibu.”
Memang tidak ada yang lebih baik diantara mereka berdua. Ayah dengan pemikirannya yang sempit, dan Ibu dengan ketidaksetiaannya.
Jujur saja menjadi pengangguran di usiaku adalah hal yang sangat berat, apalagi saat ini aku menjadi harapan satu-satunya untuk memperbaiki keuangan keluarga. Aku juga mencoba lowongan kerja kesana kemari, namun sepertinya rejeki memang belum datang padaku.
Aku menghubungi Fara dan Alisha untuk bertemu mereka. Selama ini kami juga sering mencari pekerjaan bersama. Alisha yang terlahir dikeluarga yang berkecukupan pun juga dipusingkan dengan masa depan yang masih abu-abu.
“Kenapa yah dari dulu kita bertiga apes mulu?” tanyaku pada mereka..
“Bener juga sih. Dalam percintaan apes, dalam pekerjaan apes, eh sekarang umur udah semakin tua.” Kata Fara.
“Hmm, kita gak punya pilihan. Mungkin Tuhan pengen liat kita usaha lebih keras.” jawab Alisha mencoba menampar kami dengan kenyataan.
“Guys, besok temenin aku ke makam Oma yah.” Sudah hampir sebulan aku tidak berkunjung ke makam Oma karena kesibukkan ku mencari pekerjaan.
***
Alunan musik membawaku terhanyut dalam lamunan. Sepasang mata coklat itu menatapku tajam. Dekat. Semakin dekat. Dia terlihat seperti biasa. Attractive. Sesaat ketika dia mulai berbicara, aku terbangun dari lamunanku karena sebuah tepukan dipundak diri.
“Woi Han, jangan ngehalu mulu. Ini kawinan orang lho.” Kata Fara. Mataku terbelalak. Aku hanya diam. Apa yang barusan terjadi? Keenan. Aku melihat wajahnya sangat jelas, rasanya begitu nyata. Hmm, setelah perbincangan mendalam yang kami lewati malam itu, aku tak pernah lagi melihatnya. Kami juga tak sempat saling tukar nomor handphone. Bagaimana kabar si pria misterius itu sekarang?
Aku mengikuti Fara dan Alisha ke atas pelaminan. Satu persatu teman-teman dan tetangga yang seusia denganku mengundang kami ke pernikahan mereka. Betapa beruntungnya orang-orang ini. Rasanya cukup aneh melihat teman kecil yang dulu bermain sepeda bersamamu sekarang duduk di pelaminan, menyusuri masa depan mereka.
Setelah selesai, aku pulang ke rumah. Fara dan Alisha menginap di rumahku. Belakangan kami memang sering menghabiskan waktu bersama. Entah itu untuk mencari pekerjaan, bergosip, atau hanya sekedar membuang waktu untuk mengisi kekosongan hidup. Yah, sangat kosong. Hingga saat ini kami belum menemukan pria yang ingin melamar atau bahkan mendekat hanya untuk berkenalan.
Ketika sedang menghabiskan waktu menonton tv series bersama Fara dan Alisha, aku mendengar suara mobil di depan rumah. Aku membuka jendela kamar dan melihat tante Widya keluar dari mobil bersama suami dan anak bungsunya. Jujur saja aku tidak begitu menyukai kedua adik ayahku. Mereka sangat tidak ramah. Mereka juga sering memamerkan harta kekayaan suami mereka. Hal yang paling kubenci adalah ketika mereka membandingkan fisik maupun prestasi anak-anaknya denganku. Shit, apa yang mereka lakukan disini?
“Siapa, Han?” tanya Fara.