Uncommon Type

Noura Publishing
Chapter #3

Tiga Minggu yang Melelahkan

HARI KE-1

Ana bilang, hanya ada satu tempat untuk mencari hadiah bermakna bagi MDash: Antique Warehouse, yang lebih mirip pasar loak permanen di lokasi bekas Lux Theater alih-alih tempat harta karun kuno. Sebelum HBO, Netflix, dan 107 saluran hiburan lainnya membangkrutkan Lux, aku pernah duduk selama berjam-jam di gedung bioskop yang dulunya megah itu dan menonton banyak film. Kini, tempat itu berupa deretan kios yang bisa dibilang menjual barang antik. Aku dan Anna menjelajahi semuanya satu per satu.

Sebentar lagi, MDash akan menjadi warga negara AS lewat naturalisasi, dan ini peristiwa besar bagi dia dan kami. Kakek nenek Steve Wong dinaturalisasi pada tahun empat puluhan. Ayahku kabur dari preman-preman kelas teri alias Kaum Komunis Eropa Timur pada 1970-an dan, dahulu kala, nenek moyang Anna mendayung perahu melintasi Lautan Atlantik Utara untuk menjarah apa pun yang bisa dijarah di Dunia Baru. Menurut legenda keluarga Anna, mereka menemukan Pulau Martha’s Vineyard.

Sebentar lagi, Mohammed Dayax-Abdo akan menjadi orang Amerika tulen, jadi kami ingin memberinya sesuatu yang klasik, objet d’patriotic1 yang mengandung pusaka dan humor negara barunya. Menurutku, wagon Radio Flyer kuno di kios kedua itu sempurna. “Saat memiliki anak-anak Amerika, dia akan mewariskan wagon itu kepada mereka,” kataku.

Namun, Anna tidak mau membeli barang antik pertama yang kami jumpai. Jadi, kami terus berburu. Aku membeli bendera Amerika dengan empat puluh delapan bintang, dari 1940-an. Bendera itu akan mengingatkan MDash bahwa negara angkatnya tidak pernah selesai membangun diri sendiri—bahwa warga negara yang baik pasti mendapat tempat di dataran suburnya, sama seperti bintang-bintang tambahan bisa mengisi bidang biru di atas garis-garis merah putih pada bendera. Anna setuju, tetapi terus menggeledah, mencari hadiah yang jauh lebih istimewa. Dia ingin barang unik yang tiada duanya. Setelah tiga jam, dia memutuskan bahwa Radio Flyer itu ternyata ide bagus.

Hujan mulai turun persis ketika kami meninggalkan pelataran parkir dalam VW Bus milikku. Kami harus berkendara pelan-pelan ke rumahku karena bilah-bilah wiper mobilku begitu tua hingga meninggalkan aliran air di kaca depan. Badai terus mengamuk hingga malam. Jadi, alih-alih menyetir pulang, Anna tetap tinggal, memutar kaset kompilasi lagu lama milik ibuku (yang telah kupindahkan ke CD), memuji selera eklektik Mom ketika musik beralih dari Pretenders ke O’Jays dan ke Taj Mahal.

Ketika Real Wild Child dari Iggy Pop mengalun, dia bertanya, “Kau punya musik dari dua puluh tahun terakhir?”

Aku membuat burrito daging. Anna minum anggur. Aku minum bir. Dia menyalakan perapian Franklin-ku, berkata dia merasa seperti wanita penjelajah di padang rumput. Kami duduk di sofa ketika malam menjelang, satu-satunya cahaya berasal dari perapian, dan level audio di sound system-ku beralih dari hijau menjadi oranye dan terkadang merah. Petir di balik awan tampak berkilau dalam badai yang berkilometer-kilometer jauhnya.

“Tahukah kau?” kata Anna kepadaku. “Ini Minggu.”

“Tentu,” jawabku. “Aku menikmati saat ini.”

“Itulah yang kukagumi darimu. Pintar. Perhatian. Santai hingga mendekati malas.”

“Ucapanmu beralih dari pujian menjadi hinaan.”

“Ubah malas jadi lamban,” kata Anna sambil menyesap anggur. “Intinya, aku menyukaimu.”

“Aku juga menyukaimu.” Aku bertanya-tanya apakah percakapan ini punya maksud tertentu. “Kau merayuku?”

“Tidak,” jawab Anna. “Aku mengajukan proposisi kepadamu. Sesuatu yang benar-benar berbeda. Merayu adalah memancing. Mungkin kau terpancing, mungkin tidak. Mengajukan proposisi adalah langkah pertama dalam meraih kesepakatan.”

Harap maklum bahwa aku dan Anna sudah saling mengenal sejak sekolah menengah atas (St. Anthony Country Day! Go, Crusaders!2). Kami tidak berkencan, tetapi berada dalam lingkup pertemanan yang sama dan saling menyukai. Setelah beberapa tahun kuliah, dan beberapa tahun lagi merawat ibuku, aku mendapatkan lisensi dan berpura-pura mencari nafkah dari bisnis real estat selama beberapa waktu. Suatu hari, Anna berjalan memasuki kantorku karena dia harus menyewa tempat untuk bisnis desain grafisnya dan akulah satu-satunya agen yang bisa dipercayainya karena aku pernah mengencani temannya dan tidak bersikap menyebalkan ketika hubungan kami berakhir.

Anna masih sangat cantik. Dia tidak pernah kehilangan tubuh ramping kencang seorang atlet triatlon dan, sesungguhnya, memang begitulah dia dulu. Seharian aku menunjukkan beberapa tempat yang tersedia, tetapi dia tidak menginginkan satu pun dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal bagiku. Aku bisa melihat bahwa dia masih tetap kaku, fokus, dan ambisius seperti dulu, saat di SACD. Matanya terlalu tajam ketika melihat detail-detail terkecil dan dia tidak menyisakan sesuatu pun yang belum diungkap, diteliti, dicatat, atau digantikan jika perlu. Anna Dewasa sangat melelahkan. Anna Dewasa bukan tipeku, sama seperti Anna Remaja dulu.

Jadi, rasanya menggelikan karena aku dan dia malah menjadi teman yang sangat akrab, jauh lebih dekat daripada semasa kami kecil. Aku adalah salah seorang pemalas dan penyendiri yang bisa bersantai sepanjang hari dan tak pernah merasa menyia-nyiakan waktu sedetik pun. Sesungguhnya, begitu aku menjual rumah ibuku dan memasukkan uangnya ke beberapa investasi, aku meninggalkan pekerjaan palsuku dan menjalani Kehidupan Terbaik yang Bisa Dibayangkan. Beri aku sejumlah cucian yang harus dikerjakan dan pertandingan hoki di saluran NHL, maka aku akan baik-baik saja sepanjang siang. Pada sepanjang waktu yang kuhabiskan untuk bersantai memilah cucian putih dan berwarna, Anna melapisi dinding loteng, menyiapkan laporan pajak, membuat pasta sendiri, dan memulai ajang pertukaran pakaian di Internet. Dia mencuri-curi tidur dari tengah malam hingga fajar dan punya energi untuk beraktivitas dengan penuh semangat sepanjang hari. Aku tidur nyenyak selama mungkin dan tidur siang setiap hari pukul 2.30.

“Sekarang, aku akan menciummu.” Anna melakukan apa yang baru saja dia katakan.

Sebelumnya, selain kecupan ringan di pipi diiringi pelukan singkat, kami tidak pernah melakukan keintiman lainnya. Malam itu, dia menawarkan versi baru dirinya dan aku berdebar, kebingungan.

“Hei, tenanglah,” bisik Anna. Lengannya merangkul leherku. Dia beraroma sangat menyenangkan dan terasa seperti anggur. “Ini Sabat. Hari istirahat. Tidak akan melelahkan.”

Kami kembali berciuman, kali ini aku menjadi peserta yang tenang dan aktif. Lenganku memeluknya dan menariknya mendekat. Kami saling menyandar dan perlahan berubah santai. Sudah hampir setahun aku tidak mencium wanita dengan cara seperti itu, sejak Mona, Pacar Keji yang bukan hanya mencampakkanku, tetapi juga mencuri uang dari dompetku (Mona memang bermasalah, tetapi soal berciuman? Dia luar biasa).

“Bocah pintar,” desah Anna.

Aku mendesah. “Seharusnya ini kita lakukan bertahun-tahun silam.”

“Kurasa kita punya sedikit waktu untuk bermesraan,” bisik Anna.

Aku melakukan semua yang dia minta. Aku lupa diri.

HARI KE-2

Sarapan Senin pagiku berupa panekuk gandum, sosis chorizo, semangkuk besar buah berry, dan kopi yang diperkolasi—disaring. Anna memilih semacam teh herbal yang sudah lama kusimpan di lemari dapur dan semangkuk kecil kacang yang dicacahnya dengan pisau daging. Dia memasukkan delapan blueberry untuk melengkapi sarapan bergizinya. Kami berguling turun dari ranjang tanpa sedikit pun merasa canggung.

Ketika sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja, Anna mengatakan kami telah mendaftar untuk pelajaran scuba diving.

“Benarkah?” tanyaku.

“Yap. Kita akan mendapat sertifikat,” jawabnya. “Dan kau harus membeli beberapa pakaian olahraga. Sepatu lari dan setelan kaus. Pergilah ke Foot Locker di Arden Mall. Setelah itu temui aku makan siang di kantorku. Bawa wagon dan bendera untuk MDash dan kita akan membungkus keduanya.”

“Oke,” kataku.

“Malam ini aku akan memasak makan malam di rumahku, kita akan menonton film dokumenter, lalu kita akan melakukan aksi seperti yang kita lakukan semalam.”

“Oke,” ulangku.

HARI KE-3

Akhirnya, Anna membawaku ke Foot Locker, menyuruhku mencoba lima pasang sepatu berbeda (kami menyepakati sepatu cross-trainer) dan empat versi atasan dan sweatpants (Nike). Lalu, kami membeli makanan dan minuman karena Anna ingin menyelenggarakan pesta untuk MDash. Katanya, rumahku adalah satu-satunya tempat untuk perayaan semacam itu.

Sekitar tengah hari, MDash menjadi satu dari enam belas ribu calon orang Amerika yang berdiri di lantai Sports Arena dengan tangan kanan terangkat ketika mereka mengucapkan sumpah setia terhadap Amerika—para warga negara baru yang akan mempertahankan, melindungi, dan membela sesuatu yang kini menjadi Konstitusi mereka, sama seperti yang dilakukan Presiden Amerika Serikat. Aku, Steve Wong, dan Anna duduk di bangku penonton, menyaksikan naturalisasi lautan imigran, dengan warna kulit beraneka ragam. Itu pemandangan yang mengesankan dan mengaduk-aduk emosi kami bertiga—terutama Anna. Dia menangis, wajahnya ditekankan ke dadaku.

“Ini … sangat … indah.” Dia terisak-isak. “Astaga …, aku cinta … negara ini.”

Kolega-kolega MDash di Home Depot, yang bisa mengambil cuti, muncul di rumahku dengan membawa banyak bendera Amerika murah, yang dibeli dengan diskon karyawan. Steve Wong menyalakan mesin karaoke dan kami menyuruh MDash menyanyikan lagu-lagu dengan lirik yang mengandung kata “Amerika”. American Woman. American Girl. Spirit of America dari Beach Boys sesungguhnya membahas mobil, tetapi tetap saja kami menyuruh MDash menyanyikannya. Kami menggunakan wagon Radio Flyer-nya sebagai wadah es dan kami berenam menancapkan bendera dengan empat puluh delapan bintang itu, seakan kamilah para Marinir di Iwo Jima, dengan MDash sebagai lelaki terdepan.

Pesta berlanjut lama setelahnya, hingga hanya kami berempat yang tersisa, menyaksikan kemunculan bulan, mendengarkan Old Glory3 berkepak dan berkibaran di tiangnya. Aku baru saja membuka bir lagi dari lelehan es di dalam wagon ketika Anna mengambil kaleng bir itu dari tanganku.

“Hati-hati, Sayang,” katanya. “Kau akan memerlukan segenap kemampuanmu begitu mereka berdua pulang.”

Satu jam kemudian, Steve Wong dan MDash berjalan ke luar, warga negara Amerika yang masih baru itu melantunkan A Horse with No Name (dari band bernama America). Begitu mobil Steve meninggalkan jalanan mobil di depan rumahku, Anna meraih tanganku, menuntunku ke pekarangan belakang. Dia meletakkan bantal-bantal di atas rumput empuk dan kami berbaring di sana, lalu, yah, kau tahulah, menguji segenap kemampuanku.

HARI KE-4

Anna akan berolahraga lari, menempuh beberapa kilometer, setiap kali dia bisa menyisihkan empat puluh menit, kebiasaan yang hendak dipaksakannya kepadaku. Dia membawaku ke salah satu rutenya, jalan setapak yang menanjak mengitari Vista Point dan berputar balik, lalu menyuruhku untuk mulai berlari. Dia akan berlari mendahuluiku dan menemuiku dalam perjalanan kembali karena tahu aku tidak akan pernah bisa menyusulnya.

Olahragaku hanyalah masalah pilihan. Terkadang, aku mengendarai sepeda tuaku ke Starbucks atau memainkan beberapa ronde golf Frisbee (dulu aku anggota sebuah liga). Pagi ini, aku tersengal-sengal mendaki jalanan tanah itu. Anna begitu jauh di depan hingga aku tidak bisa lagi melihatnya dan kakiku menderita dalam sepatu cross-trainer baru (catatan untuk diri sendiri: pilih ukuran setengah nomor lebih besar). Darah melonjak naik turun dalam tubuhku dengan kemarahan yang tidak biasa sehingga bahu dan leherku menegang dan kepalaku berdentam-dentam. Ketika Anna memelesat turun dari Vista Point, dia bertepuk tangan.

“Bocah pintar!” serunya ketika melewatiku. “Upaya pertama yang bagus!”

Aku berbalik mengikutinya. “Pahaku serasa terbakar!”

“Mereka memberontak!” serunya sambil menoleh ke belakang. “Nanti juga mereka akan patuh!”

Anna mengatur ulang dapurku ketika aku sedang mandi. Dia beranggapan aku menyimpan semua panci dan tutupnya di lemari yang keliru, dan mengapa laci peralatan makanku begitu jauh dari mesin cuci piring? Aku tidak punya jawaban. “Ayo berangkat. Tidak boleh terlambat untuk pelajaran scuba pertama kita.”

Sekolah Scuba itu beraroma pakaian selam karet basah dan kolam berkaporit. Kami mengisi formulir dan mendapat buku petunjuk untuk dipelajari serta jadwal sesi kelas kami, juga pilihan tanggal untuk sertifikasi perairan terbuka. Anna menunjuk Minggu, empat minggu dari sekarang, dan langsung memesan tempat untuk kami di kapal.

Kami pergi ke Viva Verde Salad Cafe untuk menyantap makan siang berupa selada yang terbuat dari selada dengan tambahan selada, dan setelah itu aku ingin pulang untuk tidur siang. Namun, Anna mengatakan perlu bantuanku untuk memindahkan beberapa barang di rumahnya, pekerjaan yang telah dia tunda-tunda. Pernyataan yang tidak terlalu benar, bahkan nyaris bohong. Sesungguhnya, dia ingin aku membantunya mengganti pelapis dinding lorong dan ruang kantor di rumahnya, yang berarti aku harus memindahkan komputer, printer, pemindai, dan peralatan grafis, lalu mematuhi perintahnya sepanjang siang.

Malam itu, aku tidak sempat pulang. Kami makan malam di rumahnya—lasagna vegetarian dengan tambahan sayuran—dan menonton film di Netflix mengenai perempuan-perempuan cerdas dengan pacar idiot.

“Lihat, Sayang,” kata Anna. “Itu tentang kita!” Dia terbahak dan menyentuhku. Entah aku lelaki paling beruntung sedunia atau aku sedang diperdaya. Setelah dia membiarkanku menyentuhnya juga, aku masih belum yakin diriku termasuk yang mana.

HARI KE-5

Anna harus bekerja di kantornya. Dia mempekerjakan empat wanita serius dan satu anak magang: seorang gadis SMA ringkih. Tahun lalu, dia mendapat kontrak mengerjakan gambar grafis untuk sebuah penerbit buku teks, pekerjaan mapan tetapi sama membosankannya dengan memasang pelapis dinding sebagai mata pencaharian. Kukatakan kepadanya aku hendak pulang.

“Kenapa?” tanyanya. “Hari ini kau menganggur.”

“Aku berencana untuk berolahraga. Lari,” jawabku, mengarang alasan secara spontan.

“Bocah pintar,” katanya.

Aku pulang dan benar-benar mengenakan sepatu cross-trainer, lalu berlari-lari kecil mengitari lingkungan rumah. Mr. Moore, pensiunan polisi yang rumahnya berbagi pagar belakang dengan rumahku, melihatku berlari lewat dan berteriak, “Kau kerasukan apa?”

“Perempuan!” teriakku menjawab. Dan, itu bukan hanya benar, tetapi aku merasa senang mengucapkannya. Ketika seorang pria memikirkan seorang wanita dan ingin bercerita kepadanya bahwa dia telah berlari selama empat puluh menit, yah, Sobat, dia sedang hidup dalam Wilayah Pacar.

Ya. Aku punya pacar. Pacar mengubah seorang pria, mulai dari sepatu yang dikenakannya untuk berolahraga hingga caranya memotong rambut (itu dilakukan Anna keesokan harinya, di depan tukang cukurku)—perubahan-perubahan yang sudah saatnya kulakukan. Diperdaya oleh adrenalin romansa, aku berlari melebihi kesanggupan tubuhku.

Anna menelepon persis ketika aku menyerah untuk tidak tidur siang gara-gara betisku sekencang kaleng bir. Dia menyuruhku menemui ahli akupunkturnya; dia akan menelepon untuk mengatur perawatan langsung.

East Valley Wellness Oasis berada di dalam sebuah gedung profesional/mal mini, dengan tempat parkir bawah tanah. Butuh upaya fisik untuk menyetir VW Bus milikku, yang tidak dilengkapi power steering, mengikuti rampa-rampa yang melingkar turun itu. Berusaha memahami berbagai macam elevator di dalam fasilitas itu melelahkan otakku. Ketika akhirnya menemukan kantor 606-W, aku mengisi lima halaman kuesioner Wellness, duduk di sebelah air mancur yang pompa listriknya menciptakan suara lebih keras daripada elemen airnya yang berjatuhan.

Apakah Anda menerima praktik Visualisasi? Tentu saja, mengapa tidak? Apakah Anda terbuka terhadap Meditasi Terpandu? Aku tidak melihat apa salahnya. Jelaskan alasan Anda mencari perawatan. Harap diperinci. Pacarku menyuruhku membawa otot-otot kakiku yang kaku, lelah, malang, dan ingin dikendurkan kepada Anda.

Kuserahkan jawabanku dan aku menunggu. Akhirnya, seorang lelaki berjas lab putih memanggil namaku dan membawaku ke ruang perawatan. Ketika aku melucuti pakaian hingga hanya menyisakan celana dalam, dia membaca dokumenku.

“Anna bilang kakimu mengganggumu?” tanyanya. Dia telah merawat Anna selama tiga tahun terakhir.

“Yap,” jawabku. “Betisku, dan juga otot-otot lainnya, sedang memberontak.”

“Menurut ini,” katanya sambil menunjuk dokumenku, “Anna adalah pacarmu.”

“Perkembangan baru,” kataku.

“Semoga beruntung. Berbaringlah menelungkup.” Ketika dia menusukkan jarum-jarum, seluruh tubuhku bergelenyar dan betisku berkedut-kedut tak terkendali. Sebelum meninggalkan ruangan, dia menyalakan alat pemutar CD tua untuk meditasi terpanduku. Aku mendengar suara seorang perempuan yang memintaku untuk menjernihkan pikiran dan membayangkan sebuah sungai. Aku bisa dibilang melakukan hal itu selama setengah jam, ingin tidur, tetapi tidak bisa karena ada jarum-jarum yang menusuk tubuhku.

Anna menunggu di rumahku, memasak makan malam berupa tanaman berdaun dengan biji-bijian dan nasi sewarna tanah. Setelah itu, dia menggosok kakiku begitu keras hingga aku meringis. Kemudian, dia mengatakan belum pernah bercinta selama lima malam berturut-turut sejak masa kuliah, tetapi hendak mencobanya.

HARI KE-6

Anna mengatur alarm di ponselnya pukul 5.45 pagi karena dia harus mengerjakan banyak hal. Dia menyuruhku bangun juga, membiarkanku minum secangkir kopi, lalu menyuruhku mengenakan pakaian lari.

“Betisku masih sakit,” kataku.

“Hanya karena kau mengatakan kepada diri sendiri bahwa betismu sakit,” katanya.

“Pagi ini aku tidak mau lari,” keluhku.

“Tidak ada alasan, Sayang.” Dia melemparkan sweatpants kepadaku.

Pagi itu dingin dan berkabut. “Sempurna untuk lari di jalanan,” kata Anna. Dia memaksaku menirukan rutinitas peregangan dua puluh menit yang dilakukannya tepat di jalur mobil di rumahku, menyalakan pengatur waktu di ponselnya dengan nada yang berbunyi ping setiap tiga puluh detik. Ada dua puluh empat posisi tubuh yang harus kupertahankan, masing-masingnya meregangkan urat atau otot tertentu di dalam tubuhku, masing-masingnya membuatku meringis, menyumpah keras, dan merasa pening.

“Bocah pintar,” kata Anna. Lalu, dia menjelaskan rute yang hendak kami tempuh untuk mengitari lingkungan rumahku; dua kali untuknya, sekali untukku. Mr. Moore sedang mengambil surat kabar dari halaman depan rumahnya ketika aku berlari lewat.

“Itukah pacarmu? Yang berlari melintas semenit lalu?” teriaknya kepadaku. Aku tersengal-sengal sebegitu hebatnya sehingga hanya bisa mengangguk. “Apa sih yang dilihatnya darimu?”

Lihat selengkapnya