Di jalan Kesemek nomor sembilan, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lapangan bulu tangkis dan minimarket. Terdapat sebuah indekos khusus laki-laki, tempatnya bersih dan nyaman. Tapi jika di tanya soal ketertiban para tetangga tidak bisa mengatakan "iya" sebab kebanyakan penghuni kos-kosan kurang waras. Kurang waras yang di maksud bukan dalam artian gangguan mental, melainkan kelakuan merekalah yang kurang waras.
Tapi jangan salah, anak-anak penghuni kosan itu sangat ramah pada para tetangga, apalagi pada tetangga sebelah.
Dan Yuvino Sebastian adalah salah satu penghuninya. Vino sudah lama tinggal di kosan semenjak dirinya baru menjadi mahasiswa kedokteran di salah satu universitas di Jakarta. Vino memilih tinggal terpisah dengan orang tuanya karena dirinya ingin hidup mandiri, dia tidak ingin merepotkan terlalu banyak pada orang tuanya.
"Bang Upin?"
Vino yang sedang bermain gitar di teras indekos langsung menoleh, tangannya tidak lagi memetik senar gitar saat seseorang memanggil namanya.
Di sana, di dekat pintu masuk indekos terlihat seorang laki-laki memakai kaus singlet berwarna putih sedang berdiri sambil menatap Vino.
Omong-omong, yang memanggilnya Upin adalah teman sekamarnya. Dan akibat dari teman sekamarnya yang sering memanggilnya Upin hampir semua penghuni kosan yang sebelumnya memanggilnya Yuvin, jadi ketularan menjadi Upin. Bahkan pernah ada yang menanyakan di mana keberadaan Ipin pada dirinya.
Dengan kening yang sedikit mengerut, Vino pun bertanya, "Kenapa?"
"Lo lihat kemeja gue yang warna hitam nggak?"
Kerutan di keningnya semakin terlihat jelas saat mendengar sebuah jawaban yang menyerupai pertanyaan. Vino sempat terdiam, namun beberapa detik kemudian dia bersuara. "Yang hitam garis-garis itu, kan?"
Laki-laki yang satu tahun lebih muda darinya mengangguk secara singkat. "Iya, yang itu."
Vino langsung mengetahui wujud kemeja hitam garis-garis milik teman sekamarnya. Karena selain laki-laki itu sering memakainya, yang punya kemeja hitam garis-garis hanya dia saja.
"Kemaren sih gue lihat kemeja punya lo di jemuran."
Laki-laki yang memiliki nama lengkap Hanung Binsetya, memajukan langkahnya, mendekat pada Vino yang duduk di kursi teras dengan gitar berada di pangkuannya.
"Terus sekarang ke mana? Lo tahu nggak?" Hanung bertanya, berharap jika kemeja kesayangannya itu bisa cepat-cepat dia temukan.
"Ya, enggaklah." Raut wajah Hanung yang terlihat sedih, ada perasaan kasihan saat Vino melihatnya. "Emangnya kemaren itu kemejanya nggak lo angkat dari jemuran?"
Raut wajah Hanung semakin terlihat sedih. "Nggak, Bang. Gue lupa."
Vino menghela napas. "Coba tanya sama yang lain."
"Sama siapa?"
"Siapa kek terserah."