Berjuta Kenangan
Angela tersentak dari tidurnya, ia meraba – raba untuk memastikan di mana ia berada. Apakah dia sudah mati? Apa ini di surga atau neraka? Tidak! Bukan keduanya.
Karena semua masih gelap. Dan itu berarti dia masih hidup dan bernapas. Gadis itu kembali merebahkan tubuhnya yang kian berkurang beratnya. Ia memeluk bantal bulu yang berbau wangi bunga lavender, wewangian favoritnya.
Seseorang membuka pintu kamarnya dan memasuki ruangan dengan tergesa - gesa.
"Lala... Sayang... kamu sudah sadar nak?! Alhamdulillah...'' Bu Anggara menghambur ke dalam ranjang Angela.
Mendengar suara ibunya yang terharu menahan tangis, Angela memaksakan untuk bangkit dari tidurnya untuk menyambut ibunya melalui suaranya. Gadis itu memeluk ibunya dengan erat. Pecahlah airmatanya.
"Mamaaaaaa...... Ini beneran mama?! Mamaaaaa......huhuhu.... Lala benar – benar masih hidup?!'' Angela terisak di pelukan ibunya. Bu Anggara pun tak kalah sedihnya.
Ia memeluk dan mengecup putri satu – satunya itu berulang – ulang di sela – sela ucapan syukurnya yang terus terdengar.
"Iya sayang... Iya... Ini mama nak...'' Jawab ibunya penuh kelembutan dan masih berurai airmata.
"Lala pikir Lala sudah mati... Lala...'' Ucap Angela di sela isak tangisnya. Dan langsung di potong oleh ibunya.
"Sssssttt.....Jangan bicara seperti itu sayang... Lala sudah aman sama mama. Jangan sedih lagi ya.'' Lanjut wanita setengah baya yang masih terlihat cantik itu mengusap airmata yang membasahi kedua pipi putrinya.
"Mama... Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Lala masih hidup, bukannya Lala jatuh ke tebing itu?!'' Angela melepas pelukan mamanya sambil tetap memegang erat tangan ibunya.
"Tadi kamu memang terjatuh tapi bukan di tebing tinggi nak, papa membawamu ke pinggiran taman. Papa hanya ingin memberimu pelajaran, agar kamu tahu bahwa bunuh diri itu jalan yang sesat. Mama sempat panik melihat papa yang sudah emosi tadi. Untungnya pinggiran taman itu nggak terlalu tinggi.'' Bu Anggara memaparkan kejadian yang sebenarnya kepada Angela. Gadis itu mendengarkan dengan dahi berkerut terkejut.
"Tapi bertepatan saat itu dokter Tyo datang dan melihatmu terjatuh. Dokter Tyo langsung membopongmu ke dalam.''
“Dokter? Dokter Tyo? Siapa ma?'' Angela memotong pembicaraan ibunya dengan terbata - bata.
"Iya dokter Tyo datang untuk memeriksa keadaanmu. Beliau di kirim dari rumah sakit tempat kamu di rawat. Apa kamu tahu tadi dokter Tyo marah – marah sama papa, melihatmu terjatuh tadi.'' Bu Anggara menambahkan dengan nada yang mengekspresikan perasaan takjub.
"Hah?! Dokter itu marah – marahin papa? Berani banget ma? Trus papa nggak balik marah?!'' Angela balik bertanya dengan nada syock keheranan. Ia paling tahu bagaimana ayahnya.
Pak Anggara adalah orang yang diktator dan berwibawa, oleh karenanua ia sangat di segani oleh kalangan pengusaha yang ia geluti selama hampir 30 tahunan lalu. Hingga kebiasaannya itu terbawa ke dalam kehidupan rumah tangganya, yang akhirnya berujung ke perpecahan keluarga.
"Papa minta maaf! Papa merasa sangat bersalah. Papa berusaha menjelaskan apa yang terjadi tapi dokter itu hanya fokus mengurusimu!'' Ada terselip kesan puas dalam nada bicara ibunya. Dan Angela pun tak kalah syock mendengarnya. Ia ternganga.
"Tapi benar juga sih kalau dokter itu sangat marah. Karena keadaanmu masih sangat riskan. Itu kata dokter Tyo tadi. Tapi Alhamdulillah kamu sudah sadar sayang. Sebentar ya, mama akan panggilkan dokter Tyo biar dia memeriksamu lagi.'' Lanjut bu Anggara bergegas menyudahi pembicaraan mereka. Tanpa menunggu jawaban Angela, bu Anggara bangkit dari ranjang itu menuju pintu kamar.
Tak berapa lama terdengar langkah kaki beberapa orang memasuki ruangan itu dengan terburu - buru. Bu Anggara kembali duduk di sebelah kanan Angela yang masih duduk bersandarkan tepian ranjang.
"Nak, ini dokter Tyo. Mulai sekarang dokter Tyo yang akan merawatmu. Beliau akan sering – sering datang mengunjungimu, ayo beri salam.'' Bu Anggara memperkenalkan mereka berdua dengan meraih tangan Angela agar berjabat tangan dengan dokter itu.
"Salam kenal nona Angela, saya dokter Tyo." Jawab dokter Tyo sambil menyambut uluran tangan Angela. Namun saat tangan mereka bersentuhan ada perasaan aneh yang tiba – tiba merayapi hatinya. Seperti tersengat listrik, Angela menarik tangannya dengan cepat.
"Ah iya dokter. Saya Angela.'' Balasnya dengan nada kaku dan terkesan canggung. Bu Anggara menegur Angela atas sikapnya kepada dokter itu. Melihat hal itu dokter Tyo tersenyum seolah menandakan tidak apa - apa.
"Tapi sebenarnya ini bukan pertama kali kita bertemu. Selama nona di rumah sakit saya juga sempat merawat nona, tapi sekarang kita bisa bertemu secara pribadi.'' Lanjut dokter itu sambil menyiapkan alat – alat untuk memeriksa Angela. Angela menjawab sekedarnya. Dengan di bantu ibunya gadis itu kembali berbaring.
Setelah beberapa lama mereka terdiam dan menunggu dokter itu memeriksa keadaan Angela, akhirnya dokter Tyo membuka suara.
"Apa nona merasa pusing, mual atau sejenisnya?'' Tanya dokter Tyo melepaskan stetoskopnya.
"Sedikit.'' Jawab Angela singkat dan lemah.
"Yah semoga tidak terjadi akibat yang fatal karena insiden tadi pagi. Karena tadi anda sempat pingsan. Walaupun sempat siuman sebentar, anda kembali pingsan. Untuk saat ini saya akan memberikan resep kepada suster jaga di sini. Ya sus nanti tolong perhatikan resepnya dan kalau ada apa - apa, sekiranya ada keluhan sedikit saja di kepala segera telpon saya.'' Dokter Tyo menjelaskan dan menatap ke pada bu Anggara dan suster Marisa bergantian. Wanita setengah baya itu mengangguk patuh, karena ia memang di sewa untuk selalu standby menjaga Angela. Mendengar perintah itu, keduanya menjawab dengan tegas.
Akhirnya dokter Tyo pun berpamitan dan mereka meninggalkan Angela sendirian di kamar. Bu Anggara mengantarkan dokter itu hingga keluar gerbang villa dan suster Marisa meracik obat resep dari dokter di kamar obat yang telah di siapkan oleh keluarga Anggara.
Sejak Angela harus rawat jalan di rumah, segala obat – obatan dan beberapa alat kesehatan termasuk kursi roda yang di butuhkan saat darurat telah di sediakan di villa itu, semua atas petunjuk dokter. Tetapi jika ada obat yang kurang mereka akan segera memesan via online dengan ongkos yang tidak murah. Hal ini sempat menjadi perdebatan di antara kedua orangtua Angela.