Haruskah aku menyerah akan dirimu?
Saat aku diberi harapan setinggi langit akan dirimu, kemudian kau menghilang. Ku coba untuk mencarimu, tapi tidak punya petunjuk akan keberadaanmu.
Aku akan menyerah dengan permainan hati yang kau mainkan, lalu kau muncul kembali dihadapanku.
Mengubur kembali tekadku untuk menyerah akan perasaanku.
Datang dan pergi sesuka hatimu, membawa ku terbang ke langit lalu menghempaskanku kebumi. Membuatku tersadar akan dirimu yang penuh dengan misteri dan teka teki. Kau bahkan membuat diriku sendiri bingung akan perasaanku padamu.
dan untuk mengakhiri cerita cintaku untukmu, aku bertanya.
You Love me, Will!?
-Jean-
Angin berhembus dengan kencang membelai wajah Jean, dan menerbangkan rambutnya. suasana yang mirip saat terakhir kali dia naik motor. Walaupun perbedaan yang sangat jelas terletak pada orang yang memboncengnya.
Lampu jalan dan kendaraan lain tertinggal di belakang mereka, saat Ryan memacu motor dengan cepat. Agar mereka bisa segera sampai dan tidak pulang kemalaman.
Motor Ryan berhenti di depan sebuah bangunan berlantai empat yang terbuat dari bata, jendela bangunan tersebut terlihat sudah banyak yang rusak dan ditutupi dengan menggunakan papan kayu. Dua lantai paling atas terlihat gelap, berbanding terbalik dengan dua lantai dibawahnya yang terlihat terang.
Seorang penjaga bertubuh besar dengan tato dikedua lengannya berdiri menjaga pintu masuk. Hingar-bingar suara yang berasal dari dalam tempat itu bisa terdengar sampai diluar.
"aku saja yang masuk, Jelina" ujar Ryan mencegat Jean yang berjalan menuju pintu.
"tidak apa-apa, aku tidak akan lama" katanya menatap mata Ryan untuk meyakinkannya.
"baiklah, tapi aku akan tunggu di lantai bawah, karena tempat biliar ada dilantai dua"
"oke"
Sebenarnya Jean lebih suka masuk sendiri, tapi Ryan kelihatan sangat gelisah membiarkan Jean masuk sendiri kadalam sana.
Lelaki penjaga pintu itu menatap Jean dengan tajam, yang membuat dia merasa tidak nyaman. Ryan rupanya sangat peka saat Jean berjalan dengan gelisah disampingnya. Dia langsung meletakkan tangannya dipinggang Jean sebagai bentuk perlindungan.
Saat Ryan mengatakan kalau itu bukan tempat bagi perempuan, memang tidak dilebih-lebihkan. Perempuan disitu hanya ada beberapa orang yang umurnya kira-kira dua puluh atau tiga puluh tahun yang merupakan pelayan. Yang mengantarkan bir dan berbagai minuman beralkohol lainnya. Bau alkohol dan asap rokok menjadi satu di udara. Yang membuat Jean merasa sesak nafas karena kekuarangan udara bersih.
Hampir Semua pasang mata lelaki disitu tertuju padanya, saat dia berjalan melintasi ruangan menuju tangga di sudut yang menghubungkan lantai satu dan dua. Ryan semakin mendekatkan Jean ditubuhnya saat beberapa orang lelaki yang tampak mabuk mengatakan perkataan kotor kepadanya.
"kau yakin?" Tanya Ryan saat mereka berada di depan tangga tersebut.
"aku tidak pernah seyakin ini" kata Jean
"aku akan menunggu disini"
Jean menarik napas panjang, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara agar dia bisa lebih santai. Tapi tidak ada sama sekali udara bersih di ruangan itu yang bisa dihirup. Alhasil hanya membuat jantungnya berdebar tak menentu, apalagi memikirkan bahwa Will berada di atas sana.
Dia menaikan tudung hoodienya untuk sedikit menyamarkan penampilannya. Lalu ia mengambil langkah dengan mantap Menapaki setiap anak tangga menuju lantai dua. Semakin dekat dia menuju puncak tangga semakin cepat jantungnya berdetak.
Di lantai dua hanya terdapat meja biliar tidak ada bir dan alkhol walaupun asap rokok masih terlihat menari-nari di udara. Jean mencari sudut yang aman untuk mencari keberadaan Will.
Menemukan Will tidaklah sesulit yang dibayangkannya, dia berada di meja paling ujung dengan Jamie, Ethan dan Nathan.
"bagaimana aku bisa berbicara dengannya" ujar Jean menatap Will dari jauh yang sedang mengamati bola.
Wajah itu adalah wajah yang dirindukanya selama seminggu terakhir, wajah yang berkelabat disekelilingnya.
"Ouchh.." ujar Jean merasa kesakitan saat seorang pria paruh baya menabraknya dari belakang.
"kenapa kau berdiri menghalangi jalanku!" ujarnya dengan marah sambil mengancingi celananya.
Rupanya dibelakang Jean adalah toilet, penerangannya agak remang-remang ditempat dia berdiri sehingga dia tidak memperhatikan bahwa itu adalah kamar mandi.
"maaf"
"sial sekali hari ini, sudah kalah taruhan. Dan sekarang seorang gadis menghalangi jalanku" rajukny berjalan menuju tangga untuk turun.
"aku punya ide" batinnya. mengambil dompet dari saku celananya, yang berisi uang seratus dolar.
"sir tunggu" Jean menyusul pria tersebut.
"apalagi sekarang?" katanya dengan Kesal.
"sir, bisakah anda memanggilkan lelaki yang berdiri disana. Yang memakai jaket denim itu" kata Jean menunjuk kearah Will.