"Terlepas dari apa yang dikatakan semua orang, dunia ini sangat indah."
Adalah sebuah konsep yang selalu dalam pikiranku. Aku sering memikirkan dunia yang begitu indah dan damai. Namun, ada saat-saat ketika dunia bisa sangat kejam. Ini adalah sesuatu yang harus disadari setiap individu.
Itu adalah pola pikir yang aku bawa setelah diusir, dan aku tidak mengantisipasi apapun kecuali kematian yang menantiku di ujung takdir sana, di tangan orang-orang yang pernah mengelilingi saya dengan suka cita di masa lalu.
Dan benar. Sebuah pertanyaan yang tidak dapat aku hindari untuk ditanyakan berulang kali kepada diriku sendiri adalah.
"Mengapa ini hanya terjadi pada orang-orang seperti saya, mereka yang terinfeksi kutukan?"
Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak menanyakan pertanyaan ini kepada diriku sendiri. Pertanyaan yang sama terus berputar dalam kepala ini. Dan... rasanya kepala ini seperti ingin terbelah menjadi bagian-bagian kecil.
Diriku saat ini dihinggapi campuran frustasi dan amarah. Di waktu yang bersamaan, pikiran ini dipenuhi dengan pikiran tentang ketidakadilan... ketidakmanusiaan. Diriku merasa putus asa, tidak ada harapan, dan hal-hal buruk mengerubungi kepala dan hati bila melihat kenyataan situasi diriku saat ini.
"Siapapun yang terinfeksi kutukan ini tidak boleh dihukum atau dijatuhi hukuman mati; sebaliknya, mereka harus disembuhkan. Mereka yang berlaku kejam tidak pantas untuk hidup!"
Begitu pikirku yang sudah mengamuk seperti badai tak terkendali. Namun apa daya tubuh ini sangat lemah untuk balas dendam. Kita, para korban, telah berubah menjadi makhluk aneh, yang pada dasarnya adalah dari insiden itu.
"Apa artinya kita pantas dibenci hanya karena kita telah berubah menjadi monster?"
Mungkin saja ini menunjukkan bahwa kita harus dimusnahkan seperti hama, dibuang seolah-olah kita tidak lagi berhak untuk hidup.
“Apakah ini mungkin? Kita juga dahulu adalah seorang manusia.”
Kaki ini bergetar hebat, serta mati rasa yang tidak tertahankan membuatku terduduk diam di tengah-tengah hutan gelap. Berbagai anggota tubuh ini menolak serta menghiraukan semua keinginan untuk mengakhiri hidup sekarang yang sedang dijalani.
Langsung pada saat itu juga diriku langsung berdiri kembali dan berjalan kecil dengan bermodalkan tekad yang kuat untuk melanjutkan hidup.
Saat aku berjalan melewati hutan lebat dan tampaknya tidak dapat ditembus, aku menyadari bahwa aku baru saja tersandung kecil, dengan setiap langkah yang lemah dan gemetar.
Suara yang serak, air mata mengalir deras tiada henti di wajahku saat aku berteriak ke hutan, yang kudapat hanya jawaban sunyi dari hutan.
Aku tidak dapat menahan emosi saya. Lebih buruk lagi, aku tidak peduli ke arah mana diri ini pergi karena diriku tidak tahu ke mana akan pergi di tengah-tengah gelapnya. Di sisi lain, aku tidak punya niat untuk melakukan apa pun selain bergerak, dan satu-satunya hal yang mendorong tubuh ini bergerak, berjalan dan berdiri adalah keinginan untuk melanjutkan hidup.
"Ibu... Ayah... Gia... Susu..."
Kata-kata dari mulutku terus terucap berdoa tanpa tahu siapa yang akan mendengar, sambil menangis dengan suara yang lirih dan tidak jelas, sehingga hampir mustahil untuk dipahami oleh orang lain ketika diriku berteriak putus asa dari lubuk hati ini.
"Saya sangat takut... Saya benar-benar kelelahan... Tolong akhiri ini; saya ingin mati dan mengakhiri ini sekarang juga. Saya mohon... Saya butuh bantuan Anda... tolong... Ya Tuhan, tolong akhiri ini sekarang juga, penderitaanku!"