Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #11

Cahaya di Tengah Kegelapan

Langkahku berat dan ceroboh. Tanah di bawah pijakanku tiba-tiba runtuh, menelan tubuhku ke dalam kegelapan.

“Ahhh!” 

Jeritku, telapak tanganku mati-matian menggenggam sesuatu—telur burung legendaris itu. Namun bunyinya jelas. 

Krek

Retakan tajam, seperti suara harapan yang patah.

Dari atas lubang, sosok Bibi May dengan sosok beruangnya akibat mutasi, melompat masuk tanpa ragu. Keranjang di punggungnya bergoyang, terdengar bunyi benda-benda saling beradu, tapi syukurlah—tidak ada yang hancur.

Aku terhempas ke dasar, tubuh berdebum di tanah basah. Napas terengah-engah, aku masih bisa mendengar desis mengerikan dari atas–monster cacing itu menggeliat di atas permukaan, tubuh manusia di bagian atasnya menjulur, mencari kami.

Aku menatap genggamanku. Cairan bening menetes dari pecahan telur burung legendaris yang tadi kubawa.

“Bibi… aku… aku memecahkannya,” 

Bisikku, suara tercekat, penuh rasa bersalah.

Kegelapan pekat menyelimuti. Hanya suara napasku yang terpantul di dinding tanah sempit, seperti gema yang mengejek.

“Bibi May… maafkan aku… makanan kita…”

Namun, Bibi May tidak memarahiku. Suaranya tetap tenang, meski bayangan monster cacing dengan tubuh manusia bagian atas masih bergeliat di lubang atas sana, mencari kami.

“Tidak apa. Yang penting kita selamat. Apakah kau baik-baik saja?”

Aku mencoba mengangguk, menelan rasa sesak di dadaku. Tapi saat menopang tubuh untuk berdiri, rasa sakit menusuk dari pergelangan kaki kiriku. Tubuhku goyah, lalu terjatuh kembali dengan desahan tertahan.

“Aah…”

Bibi May segera berjongkok di sampingku, matanya menajam dalam remang gelap. Jemarinya menyentuh pergelangan kakiku yang mulai membengkak. 

“Ini… Jia, kakimu terkilir.”

Aku meringis, menahan rasa sakit yang menjalar dari kaki kiriku. Setiap kali bernafas, denyut itu makin menusuk, seakan tulangku berteriak.

“Ahh… Sa-sakit sekali…” 

Gumamku, berusaha menahan suara agar tidak terdengar lemah.

Bibi May menatapku dengan wajah serius. Tanpa banyak bicara, beliau meraih ujung bajunya, lalu merobek beberapa bagian kain dengan paksa. Suara krek robekan terdengar jelas di tengah sunyi bawah tanah. Setelah itu, beliau mengambil kendi kecil dari keranjang, menuangkan air bersih ke kain hingga basah kuyup.

“Tenanglah, Jia. Ini akan membantu meredakan sakitnya.”

Beliau menempelkan kain basah itu perlahan ke kakiku. Sensasi dingin menusuk kulit, bercampur rasa perih yang membuat tubuhku bergetar.

Aku menunduk, kedua tanganku mengepal. 

“Bibi… maaf… aku hanya jadi beban. Andai aku tidak ceroboh, kita tidak akan jatuh ke sini… telur itu juga pecah karenaku…”

Bibi May terdiam sebentar, lalu menghela napas panjang. Tangannya tetap sigap membalut kakiku dengan kain yang tersisa.

“Jangan salahkan dirimu sendiri. Aku juga tidak menyangka kita akan bertemu monster mutasi itu.”

Matanya menatapku lekat, lembut tapi tegas. 

“Yang penting, kita masih hidup. Itu sudah cukup.”

Aku menelan ludah, dadaku terasa hangat sekaligus sesak. Dalam kegelapan dan rasa sakit, kata-kata Bibi May seperti cahaya kecil yang menahan pikiranku agar tidak tenggelam dalam penyesalan.

Bibi May merogoh keranjang dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi korek api.

“Syukurlah, aku sempat membawanya saat kerusuhan di kota dulu,” gumamnya lirih. Dengan tangan cekatan, beliau mengumpulkan dahan kering, akar, dan ranting yang berserakan di dasar gua.

Lihat selengkapnya