Keesokan harinya, cahaya matahari menembus sela pepohonan, menandai awal perjalanan baru. Tubuhku masih lemah, jadi aku hanya bisa bersandar di punggung Bibi May. Beliau menggendongku dengan mantap, sementara satu tangan tetap erat menjaga keranjang yang penuh dengan persediaan.
Perjalanan terasa panjang. Setiap langkah Bibi May penuh kehati-hatian. Kadang beliau harus menuruni akar besar yang melintang, kadang merunduk rendah di balik semak agar tidak terlihat. Nafasnya teratur, tapi aku bisa merasakan ketegangan di bahunya.
Di beberapa titik, suara berisik dari dedaunan membuatku menahan napas. Sesosok monster dengan kulit hitam licin merayap di kejauhan, matanya berkilat liar. Kami berdiam diri, tubuh Bibi May membeku sambil merunduk. Aku bahkan takut bernapas. Untungnya, makhluk itu berbalik, lalu menghilang di antara pepohonan.
Tak lama kemudian, seekor burung besar melintas di atas kami, cakarnya tajam menggores udara. Bibi May segera berjongkok, melindungiku dengan tubuhnya, sampai bayangan predator itu berlalu.
Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa menatap punggungnya yang kokoh. Setiap tetes keringat yang menetes dari pelipisnya membuat dadaku sesak.
…
Akhirnya, setelah melewati hutan yang terasa seperti labirin aneh, semak-semak di depan terbuka. Sinar terang menembus celah, menyilaukan mataku yang terbiasa dengan gelap. Dan di hadapan kami, lautan bunga terbentang luas, kelopaknya bergoyang lembut diterpa angin. Warna-warni itu seolah melukis dunia baru, dunia yang berbeda sama sekali dari kegelapan yang baru saja kami tinggalkan.
“Padang bunga…”
Bisikku, suara tercekat oleh rasa kagum sekaligus lega.
Bibi May berhenti sejenak. Beliau menarik napas panjang, seolah ingin menghirup habis udara segar yang terbawa aroma bunga.
“Ya, Jia. Kita sampai.”
Aku menatap punggungnya, dan baru sadar betapa tegang bahunya sejak tadi. Tapi bukan hanya beliau yang merasa lelah. Aku pun sepanjang perjalanan dicekam rasa takut.
Setiap bayangan di hutan itu masih terbayang jelas di kepalaku: tatapan monster, desis aneh dari balik semak, sayap burung predator yang berkelebat di atas kepala. Semua itu membuat jantungku terus berdetak kencang, seakan tak mau berhenti.
Aku menghela napas gemetar.
“Hutan ini… sangat menakutkan.”
Namun di hadapanku sekarang, hamparan bunga ini terasa seperti mimpi. Indah, tapi juga rapuh—seolah kapan saja bisa hilang, ditelan kembali oleh kegelapan.
Bibi May menurunkanku perlahan di sebelah api unggun lama yang tinggal bara dingin dan arang hitam. Di sisiku, beliau meletakkan keranjang besar yang selalu dibawanya ke mana-mana. Kini keranjang itu tampak ringan—isinya hanya tersisa air, sepotong daging ayam hutan legendaris, dan beberapa kain lusuh. Obat-obatan yang sempat kami bawa… sudah habis.
Aku menatap keranjang itu lama. Hatinya seperti diremas.
“Begitu banyak yang sudah terpakai hanya untuk membuat kita tetap hidup, kita berdua bertahan hidup dari hutan aneh ini.”
Sementara itu, Bibi May duduk di atas batang kayu besar yang sudah dililit lumut. Dari bekas bara di sekitarnya, jelas kayu itu biasa beliau gunakan sebagai alas tidur setiap malam.