Hari ini kami memutuskan untuk beristirahat selama beberapa hari setelah sering melakukan eksplorasi dan mengumpulkan kebutuhan untuk ke depan.
Kami juga mempersiapkan segala hal, seperti Bibi May sibuk memperbaiki alat-alat, sementara aku menjaga api agar tidak padam, memastikan makanan tidak gosong, dan air tidak surut saat merebus buah-buahan atau menyiapkan minuman.
Beberapa hari itu kami isi dengan memulihkan badan dan tenaga. Kami tidak ingin terburu-buru, apalagi sampai kekurangan persiapan dan akhirnya tumbang atau pingsan karena ceroboh.
…
Saat hari itu tiba, kami mengemas barang dan bersiap pergi ke kebun alami kami.
Sejujurnya, setelah beberapa hari hanya makan ini dan itu tanpa tambahan bumbu atau penyedap, rasanya sangat berbeda dengan hidupku sebelum semua perubahan dan mutasi monster binatang ini terjadi. Makanan kami sekarang… rasanya memang tidak enak. Hambar, kadang masih ada bau yang kurang sedap—baik dari buah, ayam, maupun telur.
Aku mencoba bertahan dengan semua ini demi hidup. Aku tidak ingin mati—setidaknya, aku masih berharap suatu hari bisa bertemu lagi dengan Ayah, Kakak, dan Susu.
Bibi May sudah siap dengan tas besar berisi alat-alat dari tanah yang cukup berat. Beliau menoleh ke arahku yang berjalan di belakang tubuhnya.
“Apa kau siap, Jia?”
Aku mengangguk dengan mata berbinar, penuh semangat menyelesaikan teka-teki 'penidur mujarab' yang membuatku selalu kantuk dan tertidur.
“Siap dong, Bi! Jia makin penasaran apa yang bikin Jia gampang banget ngantuk. Soalnya bener-bener mengganggu, parah!”
Bibi May tersenyum, lalu terkekeh kecil melihat gayaku yang sok-sokan seperti detektif cilik dengan tas tanah yang kokoh di punggungku.
“Baiklah kalau begitu. Mari kita cari tahu sama-sama. Siapa tahu ini bisa jadi obat buat orang yang sulit tidur… insomnia misalnya.”
Aku langsung manyun.
“Iiiih… Bibi kebiasaan! Selalu aja pakai istilah yang Jia nggak ngerti.”
Tapi wajah cemberutku cepat berubah jadi tawa ceria. Aku sadar, meski kadang membuatku bingung, Bibi selalu menambah wawasanku setiap hari.
“Tapi Jia juga makin pintar tiap harinya karena Bibi May, hehe…”
Bibi May tertawa kecil, lalu mengelus kepalaku.
“Hihi… gemesin banget sih kau. Tapi Bibi juga senang, ditakdirkan bisa bertemu denganmu. Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang.”
Akhirnya kami berangkat. Seperti biasa, aku berjalan mengikuti Bibi May dari belakang, di balik tubuhnya yang besar dan kokoh—seperti punggung seekor beruang pelindung.
Jalan menuju kebun alami terasa mudah dan nyaman. Tanahnya rata, hanya sesekali ada akar atau semak rendah yang perlu kami singkirkan. Angin berembus lembut, membawa aroma segar bunga dan daun basah.
Aku tersenyum sendiri.