Aku terbangun keesokan harinya ketika matahari sudah tinggi. Sinar pagi menembus masuk ke dalam kemah, begitu terang hingga membuatku harus menyipitkan mata. Hari itu terasa cerah sekali, seakan tak ada yang kelam semalam.
Namun, mataku masih sembab dan sedikit gatal—sisa tangis panjang yang belum sepenuhnya hilang.
Kulihat Bibi May tidak ada di dalam kemah atau dimanapun di padang bunga ini. Tapi aku tahu, biasanya ia sedang mencuci peralatan makan di tepi sungai.
Aku bangkit, mengambil gelas yang dibuat Bibi dari batu—atau lebih tepatnya, dari bongkahan batu yang ia belah dengan rapi. Setelah itu, aku menuju batu besar yang dijadikan tempat penyimpanan air kami, mengisinya, lalu duduk di dekat api unggun yang sudah padam. Hanya abu dan arang yang tersisa.
…
Pagi itu aku hanya termenung sambil meneguk air, sampai akhirnya rasa mulas membuatku harus pergi keluar padang bunga untuk buang air. Seperti biasa, aku membawa ember kayu buatan Bibi untuk menampungnya.
Tak lama setelah kembali, aku meletakkan ember yang kini tinggal setengah terisi. Saat itulah aku melihat Bibi May muncul dari arah sungai, membawa peralatan makan dan perlengkapan dapur buatan tangannya—ada yang dari tanah liat, ada yang dari batu, dan ada juga dari kayu.
Aku tidak berani menatap Bibi karena malu, juga takut ia masih marah. Aku hanya berdiri mematung di bagian lain di padang bunga sampai akhirnya Bibi May menghela nafas panjang.
“Jia… maafkan Bibi untuk kemarin.”
Nada suaranya masih terdengar tegas, sedikit kesal, seperti orang tua yang belum sepenuhnya reda emosinya. Tapi di balik itu, ada kelembutan yang tidak bisa disembunyikan.
“Bibi sudah tidak marah. Duduklah dulu. Bibi akan siapkan makananmu, lalu membereskan peralatan makan dan dapur ini sebentar.”
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan lalu berjalan ke tempat yang ditunjuk Bibi. Aku duduk, menunggu sambil membiarkan pikiranku berkelana. Kadang aku mencari alasan, kadang aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi satu hal masih membuatku ragu
“Apakah Bibi akan percaya dengan semua penjelasanku nanti?”
Aku duduk di sekitar api unggun, menunggu Bibi May. Rasanya seperti menunggu hukuman, seakan aku terdakwa yang menanti hakim datang untuk mengadili.
Gugup membuatku tak bisa diam. Aku terus memainkan jari-jariku sendiri, menunduk, takut sekaligus cemas dengan apa yang akan Bibi katakan nanti.
Aku menunggu beberapa saat hingga akhirnya Bibi datang. Ia duduk di sampingku dan menyerahkan sebuah mangkuk berisi potongan daging ayam hitam—bagian paha ayam Cemana.
Rasanya agak asam, karena dimasak dengan tumbuhan Parera berwarna merah. Kata Bibi May, sayuran Parera masih satu keluarga dengan tomat. Ia juga bilang sayuran ini hanya ada di hutan ini, tumbuh liar, setelah ia mencari tahu lebih banyak tentang tanaman sekitar.
Aku pun mulai memakannya. Rasanya cukup enak, meski tanpa garam buatan The Mother maupun gula putih dari buah aren. Aku bahkan tidak tahu seperti apa bentuknya, hanya mengenalnya dari cerita Ibu kandungku dulu, ia dulu sering memasak untukku dengan bahan-bahan itu.
…
Aku menaruh mangkuk di depanku, tepat di dekat api unggun yang kini sudah lama padam.
Kami berdua terdiam cukup lama. Hanya angin pagi yang berhembus pelan menemani. Hingga akhirnya, ketika aku memberanikan diri untuk berbicara, pada saat yang sama Bibi juga membuka mulut.
“Bibi, Jia… minta maaf.”
“Maafkan Bibi, ya.”
Aku terkejut, jantungku berdebar makin kencang, dan rasa gugupku bertambah.
“Bo-bolehkah aku… duluan, Bi?” tanyaku hati-hati.
Bibi menatapku serius, lalu mengangguk pelan.
“Iya. Aku juga ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi.”
Aku menunduk, memainkan jari-jariku karena gugup. Keraguan menggelayut