Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #17

Pergi ke Pantai

Setelah semua terpecahkan tentang kasus kantukku yang seperti diracuni, aku jadi menghitung kembali perjalanan kami. Ternyata sudah enam kali kami melakukan eksplorasi.

Yang pertama, saat aku dan Bibi pergi ke sarang burung legendaris—di sana kakiku sempat terkilir.

Yang kedua, waktu berburu ayam hitam Cemana. Yang ketiga, ketika mencari buah-buahan, dan tanpa sengaja kami menemukan hutan yang subur dengan banyak tanaman. Tapi di sanalah juga kami bertemu dengan bahaya… daun beracun yang bisa membuat orang tertidur.

Kalau dipikir-pikir, meski baru tiga jenis eksplorasi, kami sudah mengulanginya berkali-kali. Dua kali ke tempat ayam Cemana, dan tiga kali ke kebun alami.

Dan sekarang, aku dan Bibi bersiap untuk pergi ke tempat baru. Kata Bibi, tempat ini letaknya agak jauh dari sarang ayam Cemana, tapi masih bisa dijangkau. Ia bilang tempat itu berdekatan dengan pantai, rutenya pun lebih aman dibanding tebing tinggi tempat burung legendaris yang kami datangi pada eksplorasi pertama dulu.

Namun, katanya jalur ini lebih sulit dilalui daripada ke kebun alami. Jalanannya penuh bebatuan licin, dan kabarnya ada rawa-rawa serta hutan bakau yang harus dilewati. Arah jalannya juga berbeda—kali ini terjal dan menurun ke bawah, bukan menanjak ke atas seperti ketika kami mendaki tebing pada eksplorasi pertama.

Seperti biasa, sebelum berangkat kami menyiapkan air minum dan berbagai peralatan eksplorasi. Bibi May membawa buku catatannya, peta, serta perlengkapan penting lainnya.

Di keranjangku ada persediaan air yang sudah kami isi sebelumnya. Kali ini isinya bertambah… beberapa lembar kertas, obat-obatan sederhana, seperti salep untuk mengobati terkilir, kalau-kalau kejadian seperti di eksplorasi pertama terulang. Untuk bekal, kami menyiapkan sayuran dan daging ayam yang dimasak dengan cara direbus. Rasanya sederhana, hanya gurih alami tanpa tambahan garam atau gula.

Selain itu, Bibi juga menyelipkan beberapa obat lain yang aku sendiri tidak tahu kegunaannya. Ia bahkan membawa kertas yang katanya bisa dipakai sebagai pengganti kain bila diperlukan.

Setelah semua persiapan selesai, aku dan Bibi berangkat. Kali ini kami berjalan ke arah barat—arah yang hampir sama seperti ketika menuju kebun alami. Sementara itu, jalur timur justru membawa kami ke tebing curam. Jika terus ke utara, jalan makin menanjak ke arah puncak gunung, sedangkan ke barat, jalurnya menurun perlahan menuju dataran yang lebih rendah.

Aku dan Bibi terus berjalan, menuruni lereng sedikit demi sedikit. Kadang harus melompat dari batu tinggi, kadang mencari jalur yang lebih landai supaya tidak terpeleset. Semakin jauh kami melangkah, jenis pohon dan tumbuhan yang kami lihat juga berubah.

Yang tadinya penuh dengan pohon besar berbatang kokoh khas lereng gunung, perlahan berubah menjadi pepohonan yang lebih ramping, berakar panjang, dan daunnya lebar.

Sejujurnya, setelah melewati habitat ayam liar Cemana, jalannya mulai bercabang. Ada beberapa pilihan arah, tapi kami sepakat untuk tetap lurus ke barat. Tidak lama setelah itu, suasana hutan pun berubah. Pepohonan makin jarang, tanahnya lembap, dan makin banyak tumbuhan yang menyerupai tanaman rawa-rawa.

Jalanan yang kami lalui kini mulai becek, tanahnya lembap dan penuh genangan air. Tidak ada lagi tanah kering seperti di padang bunga atau di lereng sebelumnya. Udara pun terasa semakin hangat, bahkan cenderung panas—mungkin karena kami sudah berada di dataran yang lebih rendah dari padang bunga.

Sepanjang perjalanan, aku dan Bibi tidak menjumpai monster sama sekali. Perjalanan kali ini terasa lebih aman dibanding biasanya, meski jalannya jauh dari kata bersahabat. Licin, becek, dan membuat langkah kami harus ekstra hati-hati.

Saat aku dan Bibi sampai, suasananya makin jelas—ini memang rawa-rawa. Tanahnya becek, setiap kali aku melangkah, suaranya “pluk-pluk” bikin kakinya kotor. Air di sekeliling berwarna keruh, kadang ada lumut hijau mengambang di permukaan. Pohon-pohon tumbuh miring dengan akar yang menjulur keluar lalu tenggelam di air. Bau tanah basah bercampur daun busuk bikin hidungku agak mual. Nyamuk-nyamuk juga berkerumun, terbang mendekat lalu pergi lagi.

Lihat selengkapnya