Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #18

Hari Ketika Aku Melihat Laut

Kami akhirnya hampir sampai di pantai setelah berjalan penuh perjuangan melewati rawa-rawa. Kaki kami kotor, penuh lumpur, tapi syukurlah selama perjalanan tidak ada hewan buas seperti ular yang muncul.

Begitu angin kencang menerpa wajahku, aku langsung cium wangi aneh yang belum pernah aku cium sebelumnya. Rasanya asin… kayak garam yang Mama dulu pernah kasih ke masakan. Tapi wanginya juga segar, bikin hidung geli-geli enak.

Tapi perjalanan ini tidak mudah juga karena aku dan bibi melewati rawa-rawa. Di lain sisi, di tengah-tengah perjalanan tadi, aku dan Bibi juga masih sempat bercanda. Aku yang masih kecil sering bertingkah polos—pernah sekali waktu aku memegang pantat besar Bibi sambil bilang,

“Lembut banget, kayak bantal!” 

Bibi langsung menoleh, terdiam sebentar, lalu malah tertawa keras sampai bahunya berguncang.

“Dasar Jia, ada-ada saja,” 

Kata bibi May sambil menggeleng-geleng, masih cekikikan.

Aku pun ikut tertawa, walau wajahku merah karena malu. Tapi kejadian seperti itu justru membuat perjalanan berat di rawa terasa lebih ringan.

(* * *)

Akhirnya, setelah melewati rawa-rawa yang licin dan melelahkan, aku dan Bibi sampai juga di tepi pantai.

Hamparan pasir putih kekuningan terbentang luas di depan mata, halus tapi hangat di telapak kaki kami. Deburan ombak terdengar keras, menghantam garis pantai dengan suara bergemuruh, seperti auman raksasa dari laut lepas. Anginnya kencang, membawa aroma asin yang menusuk hidung, membuat rambutku yang pendek berantakan ditiup ke segala arah.

Aku menatap takjub. Pantai ini sangat luas, tak ada sungai yang bermuara, tak ada tebing yang membatasi. Sejauh mata memandang, hanya lautan biru kelam yang tak berujung. Ombaknya tinggi dan ganas, seperti pantai selatan di buku-buku yang dulu pernah kubaca bersama Ibu dan Kakak.

“Bibi… gede banget ombaknya… serem, tapi indah ya,” 

Aku berbicara kencang-kencang dengan mata berbinar serta takjub.

Bibi May berdiri tegak di sampingku, tubuhnya besar seperti perisai, matanya tajam menatap laut.

“Ya… ini laut lepas, Jia. Tempat yang indah, tapi juga berbahaya.”

Aku mengangguk kecil, jantungku berdebar—antara kagum dan takut. Untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa benar-benar ada di ujung dunia.

Aku berdiri terpaku di tepi pantai, mataku membelalak lebar.

“Bii… bii! Lihat! Pasirnya kayak tepung, haluuus banget, terus warnanya kuning putih! Ih, kaki Jia jadi tenggelem kalau diinjek-injek, kayak kasur!”

Aku cekikikan sendiri sambil menjejak-jejak kaki ke pasir.

Aku lalu menoleh ke arah ombak. Suaranya Duaarrr! keras banget, lebih keras dari suara kayu kebakar di api unggun. 

“Waaah… gede banget ombaknya, Bi! Serem sih… tapi cantik… kayak laut di buku yang Mama tunjukin dulu ke Jia dan kakak. Huaaah, ombaknya kayak mau makan semuanya!” 

Aku mengangkat tangan, pura-pura jadi ombak yang mau menelan Bibi.

Lihat selengkapnya