Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #19

Tempat Angin dan Batu Berbisik

Aku mengamati sekeliling lagi dan baru sadar—pohon-pohon di sini aneh. Daunnya ramping seperti lidi, batangnya kecil tapi tinggi menjulang. Ada juga tanaman mirip kaktus yang aku dan bibi May temukan, tapi bukan kaktus biasa; bentuknya panjang, berwarna hijau kebiruan dan duri pajang daripada kaktus pada umumnya.

“Bi… ini tumbuhan-tumbuhannya aneh banget ya. Kayak bukan dari dunia kita.”

Bibi menatap ke arah yang sama denganku, lalu mengangguk pelan.

“Ya… mungkin memang bukan. Maksudku kita hanya tinggal di sebagian kecil di dunia ini. Hanya ada negara dengan tujuh kota dengan daerah besar. Tapi itu sebagian kecil saja, Jia.”

Aku dan bibi May akhirnya menyerah setelah berjam-jam berjalan di sepanjang pantai sebelah kanan, karena tidak menemukan apa pun yang bisa dijadikan tempat berlindung. Pasirnya mulai berubah menjadi hamparan batu-batu besar yang keras dan panas saat diinjak. Ditambah dengan dinding yang di atasnya adalah tebing.

Aku dan bibi May akhirnya berjalan ke sebelah kiri. Di sebelah kiri, pemandangannya berubah drastis—semakin banyak batu dan tebing menjulang tinggi di kejauhan, walau jalannya melandai. Tak ada lagi pasir lembut, tak ada juga rawa. Hanya batu, angin laut, dan suara deburan ombak yang memantul di dinding tebing di belakang yang mengarah ke hutan.

“Bibi, sepertinya di sana ada jalan…”

Kataku sambil menunjuk ke arah tebing dengan lubang besar di dasarnya, seperti pintu alami yang bisa dilewati. Namun perjalanannya penuh dengan bebatuan.

Bibi May memicingkan mata, menatap arah yang kutunjuk.

“Hm, iya. Itu gua kecil dan singkat karena kita bisa liat ujungnya secara langsung. Tapi terlalu jauh untuk sekarang. Kita istirahat dulu di sini.”

(* * *)

Kami duduk di antara bebatuan besar, mencari tempat yang cukup teduh dari panas matahari. Aku memeluk lututku, menatap laut yang berkilauan di kejauhan, sementara Bibi May berdiri dan memperhatikan sesuatu di dekat dinding batu.

Aku ikut menoleh dan melihatnya; kaktus aneh yang kami temukan sebelumnya. Mereka yang tumbuh langsung dari celah batu. Warnanya hijau kebiruan, tinggi, dan ujung durinya tampak berembun seperti basah.

Tanpa banyak bicara, Bibi mengambil batu pipih lalu mulai menggosok kaktus itu perlahan. Suara gesekannya terdengar jelas di antara hembusan angin. Ia menghilangkan duri-durinya satu per satu dengan teliti, lalu dengan tangan kuatnya memotong sebagian batangnya.

Aku menatap takjub, mencondongkan badan tapi tetap menjaga jarak seperti yang Bibi ajarkan.

“Bibi… itu mau Bibi diapakan?”

Tanyaku polos dan aku sudah sedikit mengabaikan perasaanku walau masih terasa sakit di dada. Tapi demi bertahan hidup, aku harus.

“Lihat saja,”

Jawab Bibi May sambil sedikit tersenyum.

Begitu potongannya terbuka sedikit, dari dalamnya menetes cairan jernih—seperti air. Mataku langsung membesar.

“Bibi! Keluar airnya! Beneran keluar airnyaaa! Waaah, keren banget!”

Aku bertepuk tangan kecil, mataku berbinar penuh kekaguman.

“Bibi bilang kalau kaktus aneh ini bisa mengeluarkan air. Tapi kok... Bibi tahu dari mana kalo tumbuhan ini keluar air sebelumnya ya? Jangan-jangan Bibi penyihir, ya?”

Aku bertanya ke bibi dengan bercanda.

Bibi terkekeh kecil sambil mengelap peluh di dahinya.

“Tidak, Bibi cuma ingat dari buku ekspedisi milik The Mother yang pernah Bibi baca dulu. Tapi yaa… sebenarnya, Bibi diam-diam mengambil bukunya tanpa izin.”

Aku langsung menatapnya lebar-lebar, lalu menutup mulutku pakai kedua tanganku.

“Bibi… itu namanya mencuri!”

Lihat selengkapnya