Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #20

Perjalanan Kecil Menuju Kegelapan

Aku berjalan pelan mendekati lubang besar itu, langkahku hati-hati di antara bebatuan yang basah dan licin. Rasa penasaran mendorongku maju—meski ada sesuatu di dada yang terasa aneh, seperti jantungku berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.

Aku berhenti di tepi lubang itu. Batu di sekelilingnya dingin dan lembap, permukaannya licin oleh percikan air laut. Aku menunduk sedikit, mencoba mengintip ke dalam.

Gelap... Gelap sekali.

Bahkan cahaya dari langit mendung pun tidak bisa menembusnya.

Dari lubang itu keluar hembusan udara dingin... dingin sekali. Berbeda dari angin laut di sekitarnya. Dingin itu terasa berat, menelusup masuk ke kulitku seperti kabut tipis yang tak terlihat.

Aku menatap lebih lama lagi, mencoba mencari tahu apakah ada dasar di bawah sana. Tapi yang kulihat hanyalah kegelapan, kegelapan yang seolah hidup.

Tiba-tiba, angin laut bertiup sangat kencang. Rambutku berantakan, mataku perih oleh butiran pasir. Aku refleks menutup wajah dengan tangan, dan pada saat yang sama…

(* * *)

“Jia! Jiaaa! Kamu di mana!?”

Suara Bibi May terdengar dari kejauhan.

Aku tersentak.

"Oh tidak—aku bahkan tidak sadar kalau aku menjauh sejauh ini!"

Aku berbalik cepat, berlari kecil di antara batu-batu besar itu. Nafasku memburu, langkahku tergesa menembus hembusan angin yang makin dingin. Dari celah-celah batu, aku akhirnya melihat sosok Bibi May berdiri, memanggilku dengan wajah cemas.

“Bibi! Jia di sini!”

Jawab diriku kepada Bibi May sambil melambaikan tangan berdiri di antara bebatuan.

Bibi menghela napas panjang lega saat aku kembali ke sisinya.

Aku tersenyum kikuk, memainkan jariku dan takut bila Bibi memarahiku lagi karena terlalu khawatir dan overprotektif padaku. 

Bukannya aku merasa kayak anaknya, tapi aku diperlakukan seperti anaknya. Tapi aku masih ingat bila bibi menganggapku anaknya walau bibi membantah karena faktanya aku bukan anak kandungnya.

“Jia…”

Suara bibi terdengar pelan tapi berat—antara lega, marah, dan takut bercampur jadi satu.

Bibi May berdiri tak jauh dariku, bahunya naik-turun menahan napas. Ia menatapku dengan mata lelah tapi tajam, lalu menghela napas panjang, seolah mencoba menahan emosinya yang hampir meledak.

Aku menunduk, merasa bersalah. Nafasku masih sedikit ngos-ngosan karena berlari.

“Maaf, Bi…”

Ucapku lirih, suaraku kecil hampir tak terdengar.

“Jia cuma penasaran aja… di sana ada lubang besar.”

Mata Bibi langsung membesar mendengar itu.

“Lubang besar…?”

Gumam bibi pelan, lalu menatap ke arah yang tadi kutunjuk. Ada sedikit kekhawatiran di wajahnya.

Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan diri, sebelum akhirnya berkata.

“Sepertinya itu gua. Tapi… jangan pergi ke sana sendirian lagi. Selalu tetap bersama Bibi, ya?”

Aku hanya mengangguk cepat, menatap tanah dengan rasa bersalah yang makin besar.

“Iya, Bi…”

Kami lalu melanjutkan perjalanan perlahan di antara bebatuan. Langit makin gelap, dan angin laut bertiup semakin kuat. Ombak di kejauhan terdengar menghantam batu dengan suara berat.

Lihat selengkapnya