Suara aneh itu menggema dari dalam gua—lirih, tapi cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih cepat. Aku dan Bibi May saling berpandangan, tubuh kami menegang, siap menghadapi apa pun yang mungkin bersembunyi di kegelapan.
Angin dari dalam terasa dingin, membawa aroma lembap dan tanah basah yang pekat. Setiap gema langkah kecil seakan menjawab ketakutan kami.
Namun, dari kegelapan itu, tiba-tiba terdengar desir sayap beruntun—flap, flap, flap!
Ratusan kelelawar melesat keluar, mengepak liar melewati kepala kami, membuat udara bergetar oleh suara sayap yang tipis tapi tajam. Aku menunduk spontan, menutup kepala dengan kedua tangan.
Beberapa helai rambutku bergetar karena hembusan angin dari kepakan mereka. Saat semuanya berlalu, hanya tersisa bau lembap dan sisa debu beterbangan di udara.
Aku menoleh pada Bibi May yang perlahan menurunkan tangannya, napasnya masih terengah.
“Ternyata... cuma kelelawar,”
Gumamku pelan, setengah lega, setengah malu.
Bibi tersenyum tipis, meski matanya masih awas menatap kegelapan di depan.
“Iya,”
Bibi May berbicara perlahan.
“Syukurlah… bukan monster.”
Kami akhirnya menarik napas panjang bersamaan—leganya bukan karena sudah aman, tapi karena masih hidup untuk menatap gelap yang belum tentu benar-benar kosong.
Aku dan Bibi May menatap ke arah luar gua—tempat para kelelawar tadi berhamburan pergi, mengepak di tengah hujan yang mulai turun perlahan. Angin laut bertiup kencang, membawa hawa asin yang menusuk kulit. Hujan itu makin deras, dan tiap embusannya masuk ke dalam mulut gua tempat kami berdua berlindung.
Tapi tiba-tiba, dari arah belakang, aku merasakan hembusan udara lain—dingin dan berat, seperti datang dari dalam kegelapan. Aku spontan menoleh ke arah Bibi May, yang wajahnya juga menegang. Kami berdua berbalik perlahan, dan saat itulah... napasku seolah berhenti.
(* * *)
Di sana, berdiri sesuatu.
Seseorang—atau sesuatu—yang dulunya mungkin manusia. Sekarang, tubuhnya berubah. Tangannya memanjang menjadi sayap berkulit gelap, berurat besar, dan bergetar halus seperti milik kelelawar. Kakinya menekuk aneh, kuku-kukunya panjang dan tajam. Wajahnya… separuh masih manusia, tapi rahangnya melebar, kulitnya berlipat seperti kulit sayap, dan matanya kecil namun bersinar redup di kegelapan.
Yang paling aneh, telinganya masih manusia—tapi tidak ada daun telinga kelelawar sama sekali.
Aku tidak bisa bersuara. Tenggorokanku tercekat. Monster itu hanya berdiri diam, menatap kami tanpa gerak, seolah mencoba mengenali.
Beberapa detik berlalu… lalu dari tenggorokannya keluar suara—bukan raungan, tapi dentuman tajam seperti bunyi kaca retak yang menusuk telinga.
“Kiiiii——iiiih!”
Gelombang suaranya menghantam udara, memantul ke dinding gua. Aku langsung menutup telingaku sekuat tenaga, tapi itu tetap terasa sampai ke dalam kepala—seperti ribuan jarum yang menusuk di dalam tengkorak.
“Bi—Bibi!”