Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #22

Dimulainya Badai

Setelah badai pasir itu mereda, suara gemuruh di langit pun perlahan menghilang. Aku dan Bibi May masih berjongkok lama, menunggu semuanya benar-benar tenang. Baru ketika udara mulai terasa lebih lembap dan pasir yang beterbangan perlahan jatuh ke tanah, kami membuka mata kami perlahan.

Pandangan pertamaku membuatku terkejut—semua ular yang tadi mengerumuni kami… menghilang.

Tidak ada satu pun yang tersisa di bebatuan basah tempat mereka tadi merayap. Hanya jejak-jejak tubuh mereka di pasir yang sudah mulai terhapus hujan. Aku menatap sekeliling dengan napas tersengal, sementara Bibi May masih menahan rasa sakit di kakinya, berdiri dengan tumpuan di bahu kecilku.

“Bibi… ular-ularnya… hilang,”

Aku berbicara dengan nada lirih.

Bibi hanya menatap ke depan, wajahnya serius dan masih tegang.

Lalu, dari kejauhan, suara kepakan besar kembali terdengar

wusssh… wusssh… wusssh...

Kali ini tidak sekeras sebelumnya. Kami berdua menengadah ke langit, dan di sana, di antara kabut hujan dan sisa-sisa pasir yang melayang, kami melihat bayangan burung-burung besar.

Seekor, dua ekor… tidak, puluhan ekor.

Burung elang... besar, gagah, dan masing-masing dari mereka… mencengkeram seekor ular di kakinya.

Beberapa di antara ular itu masih melilit dan menggeliat, tapi elang-elang itu terus terbang tinggi tanpa menoleh ke bawah. Mereka menuju arah tebing yang menjulang di kejauhan—arah yang kami tahu… tempat padang bunga berada. Tempat kami dulu berlindung.

Aku hanya bisa memandangi mereka dengan mata lebar, tertegun, tanpa suara.

“Bibi… aku pernah baca… katanya ular itu makanan elang,” 

Kataku pelan, suaraku nyaris tenggelam dalam angin.

Bibi menatap langit dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. 

“Ya… mereka memang pemangsa puncak,” jawabnya.

Aku menggenggam tangan Bibi lebih erat, masih menatap kawanan elang itu yang kini lenyap di antara kabut dan hujan di atas tebing.

Aku mendengar suara itu lagi—teriakan keras, memecah udara, bergema di antara dinding tebing dan gua di belakang kami. Suaranya bukan seperti burung biasa, tapi juga bukan raungan hewan buas yang pernah kudengar. Ada nada aneh di dalamnya, seperti… jeritan manusia yang terdistorsi.

Aku dan Bibi May mendongak refleks.

Dan begitu mataku menangkap sosok di atas kami—napasku tercekat.

Itu… bukan burung. Atau lebih tepatnya... bukan hanya burung.

(* * *)

Makhluk itu melayang rendah di udara, sayapnya terbentang lebar hingga menutupi separuh langit kelabu di atas kami. Bulu-bulunya seperti elang, tapi sobek-sobek dan basah oleh darah. Di antara bulu-bulu itu, tampak bagian tubuh manusia—dada yang masih memiliki bentuk rusuk, kulitnya retak dan membiru seperti daging busuk yang dipaksa hidup. Wajahnya separuh manusia, separuh paruh burung garuda yang tajam, dengan mata besar yang tampak… masih sadar.

Mata itu bergerak cepat, bergetar, seolah mencari sesuatu. Lalu mulutnya yang campur antara paruh dan rahang manusia terbuka lebar, mengeluarkan suara aneh—gabungan antara pekikan burung dan erangan manusia yang sekarat. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri, membuat perutku mual dan dadaku bergetar.

Bibi May membeku di tempat, napasnya tercekat. Aku memegangi lengannya erat-erat, lututku gemetar.

Lihat selengkapnya