Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #23

Utusan sang 'The Mother'

Hujan turun semakin deras, menyelimuti dunia dengan warna abu-abu dan dingin yang menusuk tulang. Aku dan Bibi May masih duduk di bibir pantai—napas kami terengah, pasir menempel di kulit basah, dan darah samar bercampur air hujan di kaki Bibi yang terkilir.

Petir menyambar lagi. Cahaya putih menyayat langit, dan dari dalam gua, terdengar suara berat bergema—seperti derak tulang yang dipatahkan paksa. Aku menoleh perlahan. Sebuah sosok keluar dari kegelapan, menyeret sesuatu di belakangnya. Bunyi gesekan basah itu—

sret… sret… sret…

Terdengar jelas di antara batu dan pasir. Bibi menggenggam lenganku erat. Matanya tak berkedip. Lalu aku melihatnya saat keluar dari dalam gua menuju pintu masuk gua.

Sayap besar yang compang-camping, bulu-bulunya seperti milik elang tapi sobek-sobek dan basah oleh darah, menempel pada kulit manusia yang tampak seperti dijahit paksa ke tulang burung. Tulang dadanya menonjol seperti bilah yang mencuat dari daging membiru dan retak, seperti daging busuk yang dipaksa hidup.

Di tangannya—monster kelelawar itu diseret seperti bangkai, kepalanya menunduk, mulutnya ternganga, dan dari dadanya mengucur cairan hitam bercampur air hujan. Wajah makhluk itu separuh manusia, separuh paruh burung garuda yang tajam dan retak, dengan mata besar yang tampak masih sadar di balik tatapan kosongnya.

Makhluk itu berhenti di depan gua. Ia mengangkat tubuh mangsanya, lalu membentangkan sayap lebar-lebar. Dalam sekejap, angin berembus kuat—seperti badai yang diciptakan oleh satu kepakan.

Pasir beterbangan, mataku perih. Aku menunduk, menutup wajah, hanya mendengar deru angin dan suara tulang yang patah ketika makhluk itu terbang menembus hujan. Aku menengadah. Bayangan besar itu menjauh, naik ke langit, menuju tebing dan hutan di atas sana.

Dan kemudian—

( * * * )

DOR! DOR! DOR!

Cahaya merah melintas dari atas tebing. Aku tersentak, memeluk Bibi. Siluet-siluet hitam muncul di antara hujan—berdiri di atas tebing, mengangkat benda panjang yang mengeluarkan kilat dan suara menggelegar setiap kali mereka menarik pelatuknya.

“Bi… mereka siapa?” 

Tanyaku lirih kepada bibi May, hampir tak terdengar di antara hujan.

Bibi menatap ke atas, dengan wajahnya tegang dan pucat merespon pertanyaanku di antara suara hujan.

“Avant…” 

Kata bibi pelan, nyaris seperti doa yang retak. 

“... itu... pasukan The Mother.”

Petir menyambar lagi. Dalam sekejap cahaya putih itu, aku melihat tubuh burung mutan itu tertembus peluru. Ia terhuyung di udara, berputar, lalu sesuatu jatuh dari langit—menghantam batu di tebing sebelah. Suara pecahnya keras, berat, dan menyakitkan. Tapi kami tidak tahu siapa atau apa yang jatuh.

Burung itu lolos, menembus hujan dan awan hitam. Namun para-Avant masih menembak, sampai tembakan terakhir terdengar seperti gema yang tenggelam dalam badai.

Aku dan Bibi membeku di tempat—duduk di pasir basah, napas kami tersengal. Lalu salah satu dari mereka di atas menunduk, menatap lurus ke arah kami.

Aku tidak tahu apakah mereka benar-benar bisa melihat kami di antara hujan, tapi aku merasa tatapan itu menembus dadaku—dingin, tajam, dan kosong, seperti sedang menilai. 

“Yang mana yang masih hidup.”

Bibi menggenggam tanganku erat.

“Jia…” 

Bisik bibi pelan. 

Lihat selengkapnya