Under Garden Protection

AZ Zero Studio
Chapter #24

Sisi Cahaya

Hujan belum juga reda. Air mengguyur tanpa henti dari langit malam, menimbulkan suara berat yang bergema di seluruh pantai. Gelombang memukul batu-batu besar, menciptakan percikan asin yang terbawa angin. Para Avant sudah lama pergi; jejak mereka di pasir mulai terhapus oleh air dan waktu. Hanya sisa bekas langkah dan bau logam yang samar tertinggal di udara.

Aku dan Bibi May bergerak perlahan menuju gua. Dingin menusuk sampai ke tulang, membuat langkah kami gemetar, napas terhembus seperti kabut tipis. Setiap kali petir menyambar, cahaya putih membelah langit dan memperlihatkan sekilas bentuk tebing, laut, dan dunia yang kini tampak asing.

Begitu masuk lebih dalam, hawa berubah drastis. Angin berhenti. Yang tersisa hanya bau lembap dan anyir—bau busuk, seperti ada sesuatu yang mati dan membusuk di dalam sana, atau bekas kejadian sebelumnya. Batu-batu di dinding terasa licin di tangan, dan di beberapa tempat, air menetes dari langit-langit, jatuh perlahan di genangan dangkal.

Kami tidak melangkah terlalu jauh. Cukup sampai di sisi gua yang menjorok ke dalam dan terlindung dari angin laut. Di sana, kami menurunkan keranjang kecil berisi perbekalan terakhir—beberapa kertas, air dalam botol kecil, dan potongan tumbuhan yang sempat dikumpulkan Bibi May.

Dengan hati-hati, Bibi menumpuk serpihan kayu yang tidak tahu darimana atau juga terbawa angin yang disebabkan monster burung tadi. Api kecil mulai menyala dari korek yang diberikan para Avant dan juga kertas dari buku-buku yang diberikan oleh para Avant, redup tapi cukup untuk memberi cahaya di tengah kegelapan itu. Nyala api memantul di dinding batu, menampilkan bayangan bergoyang seperti sosok-sosok yang menari diam di antara kami.

Di luar, hujan masih jatuh dengan keras. Suaranya bergema sampai ke dalam, menyatu dengan desiran laut yang sesekali memecah di ujung mulut gua. Angin yang masuk membawa hawa asin dan lembab, tapi di tempat kami duduk, terasa sedikit hangat oleh api dan tubuh yang mulai kering.

( * * * )

Aku memperhatikan dengan bingung ketika Bibi May mengeluarkan seutas tali dari dalam tas kainnya. Entah dari mana ia mendapatkannya—mungkin dari para Avant. Tali itu tebal dan berwarna gelap, tampak kuat seperti tali panjat yang biasa dipakai tentara. Dengan cekatan, Bibi mulai melilitkannya di antara dua pilar batu besar di dalam gua, membentuk garis panjang untuk menggantung pakaian dan perlengkapan yang basah.

Suara gemericik air masih terdengar dari luar, diiringi tiupan angin yang masuk pelan dari mulut gua. Dinginnya membuat tulangku bergetar, bahkan setelah api kecil mulai menyala di depan kami.

“Jia,” 

Bibi May memanggilku perlahan tanpa menoleh saat menjahit sesuatu yang aku bingung bibi dapat darimana, tapi aku mengacuhkan karena lelah tiada tara untuk hari ini. 

“Kita harus ganti pakaian. Baju basah bisa bikinmu sakit, apalagi malam begini.”

Aku menatap baju yang menempel di tubuhku—dingin, berat, dan berbau asin laut. Tapi begitu mendengar kalimat itu, dadaku terasa sesak. Aku tahu Bibi benar, tapi rasa malu tetap muncul begitu saja. Aku tidak pernah suka terlihat saat berganti pakaian, bahkan oleh kakakku sendiri.

“Aku bisa sendiri, Bi,” 

Kataku cepat, sedikit menunduk.

Bibi berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil dengan nada yang mengerti. 

Lihat selengkapnya