TIDAK SEMUA ORANG DIUNDANG ke pesta ulang tahun Jesslyn. Perempuan dengan rambutnya yang menjuntai sampai ke bahu itu hanya mengundang anak – anak dari kalangan atas, teman dekat dan tentunya anak – anak yang popular. Aku cukup dekat dengan Jesslyn karena Teressa dan Jesslyn berteman. Entah aku dikategorikan sebagai kalangan yang mana, masuk dan bergabung ke dalam pesta ulang tahun Jesslyn tentu dapat meningkatkan status sosialku di kalangan murid lainnya.
Dengan gaun hitam selutut yang diberikan Mama beberapa bulan lalu, aku nekat melangkah masuk ke dalam sebuah rumah dengan banyak balon berwarna putih di sekelilingnya sendirian. Tanpa perlu bertanya, Jesslyn pasti menggelar acara yang mewah berkat kekayaan kedua orang tuanya.
Lihat saja, Jesslyn membuat acara ulang tahun di pinggir kolam renang dengan banyak sekali lilin – lilin kecil menyala di sekitarnya. Belum lagi kue ulang tahun berukuran besar yang tampak dilumuri cokelat leleh yang mahal dan hidangan makan malam yang luar biasa mewah. Aku tidak pernah membayangkan bahwa pesta ulang tahun seorang anak SMA akan bisa menjadi lebih megah daripada pesta pernikahan orang dewasa di kampung Mama.
“Eh, Bi, datang juga, lo?”
Jesslyn tampak anggun dengan gaun putih panjang yang menjuntai ke bawah saat menyapaku. Potongan pakaian tanpa lengan dan beberapa mutiara di bagian dadanya, membuat perempuan itu terlihat lebih dewasa dari usia aslinya. Ia juga menggunakan mahkota kecil yang berkilauan malam itu, dia sudah seperti putri – putri di negeri dongeng yang pernah kuketahui saat kecil. Bedanya, Jesslyn adalah putri di dunia nyata dan ia tidak memerlukan pangeran untuk membuat dirinya sempurna.
“Ini buat lo,” kataku sembari menyodorkan kado yang sudah kusiapkan untuknya.
Teressa yang memang sejak tadi sudah berdiri di samping Jesslyn pun tersenyum dan menyilang kedua tangannya di dada. “Gue kira lo nggak bakal datang,” sindirnya. Matanya yang hitam dan bulat lantas beralih pada Jesslyn yang baru saja menerima hadiah pemberianku. “Gue bilang sama Bianca kalau lo bakal undang cowok – cowok ganteng tadi siang.”
Jesslyn tertawa, membuat matanya yang sudah sipit semakin tak terlihat saja. “Lo bisa pilih cowok – cowok ganteng di sini, Bi. Silakan dibawa pulang,” godanya.
Aku tersenyum hambar. Sama sekali tidak merasa bahwa guyonan yang dilemparkan Teressa dan Jesslyn adalah sesuatu yang baik untukku.
Pacar, kekasih – atau bahkan gebetan – adalah sesuatu yang tabu untukku. Jangankan mengingat perasaanku sendiri, Bani dan aku kini tengah sibuk mengurus rumah dan membantu Mama melupakan semuanya. Aku tidak punya waktu untuk sesuatu yang sia – sia seperti itu.
“Eh, kita foto dong!” seru Teressa penuh semangat.