Aku mengayuh sepeda dengan cepat, menyusuri Rose Drive yang rumah-rumahnya berenang dalam genangan cahaya jingga lampu jalanan. Orang duduk di beranda-beranda, berharap dapat menikmati semilir angin. Semoga aku tidak terlambat. Semoga aku sampai di sana tepat waktu.
Baru sampai di studio. Kedua cowok grafitimu, Shadow dan Poet, ada di sini, bunyi SMS Al, dan aku langsung memelesat melintasi malam. Memelesat di bawah langit yang berdarah-darah dan berubah hitam. Meninggalkan Dad yang duduk di luar gudang dan berteriak, “Kupikir kau baru akan menemui Jazz nanti. Di mana kebakarannya, Lucy Dervish?”
Di dalam diriku. Di bawah kulitku.
Kuharap aku tidak terlambat. Semoga aku bertemu Shadow. Semoga aku bertemu Poet juga, tapi terutama Shadow. Cowok yang melukis dalam kegelapan. Melukis burung-burung yang terperangkap di tembok bata dan orang-orang yang tersesat di hutan hantu. Melukis cowok-cowok dengan jantung ditumbuhi rumput dan cewek-cewek dengan mesin pemotong rumput mendengung. Cowok yang melukis hal-hal semacam itulah yang bisa membuatku jatuh cinta. Setengah mati.