Under the Blue Moon

Noura Publishing
Chapter #2

Ed

Ini adalah malam yang panas dan gerah pada bulan Oktober. Orang-orang yang keluar rumah lebih banyak dari biasanya, sehingga aku buru-buru menyemprotkan cat untuk menggambar langit. Mataku waspada melihat ke depan dan belakang, mencari keberadaan polisi. Mencari siapa pun yang kehadirannya tidak kuinginkan. Cat melayang, dan hal-hal yang menendangi kepalaku menjerit dari kaleng cat ke tembok bata. Lihat ini, lihat ini, lihat ini. Lihatlah aku mengosongkan diri ke tembok.

Cewek adalah lukisan pertamaku. Ambang pintu di tembok bata adalah lukisan keduaku. Selanjutnya aku melukis banyak ambang pintu raksasa. Lalu langit dan langit. Langit terbuka yang dilukis di atas lukisan ambang pintu dan lukisan burung-burung yang sedang meluncur melintasi bata-bata, berupaya terbang pergi. Burung mungil, apa yang kau pikirkan? Kau berasal dari kaleng cat.

Malam ini, aku melukis burung yang sudah bercokol di dalam kepalaku sepanjang hari. Burung kuning kecil yang terbaring di atas rumput hijau cantik. Perutnya menghadap langit, sepasang kaki menghadap ke arah yang sama. Mungkin saja dia sedang tidur. Mungkin saja dia sudah mati. Warna kuningnya pas. Hijaunya juga. Langitnya salah total. Aku perlu sejenis warna biru yang bisa mengoyakmu dari dalam. Kau tidak melihat biru semacam itu di sekitar sini.

Bert selalu mencari warna itu. Di toko catnya, hampir setiap minggu dia menunjukkan cat biru yang dipesannya secara khusus. “Nyaris, Bos,” begitu kataku. “Tapi, belum cukup pas.”

Dia masih belum menemukannya ketika meninggal dua bulan yang lalu. Dia mendapat semua warna lain yang kuinginkan. Warna hijau yang mengalasi burung itu ditemukannya sekitar dua tahun lalu. “Hari pertamamu berjalan dengan baik,” katanya kepadaku ketika menyerahkan cat itu, “Benar-benar baik.”

“Berengsek! Bagus sekali,” kataku sambil menyemprotkan catnya sedikit ke atas kartu. Ini kuanggap sebagai pertanda bahwa putus sekolah untuk bekerja di toko Bert adalah hal yang benar untuk dilakukan.

“Ini memang berengsek bagusnya,” kata Bert sambil menengok ke belakang, “tapi jangan bilang berengsek kalau ada istriku, Valerie.” Bert selalu mengumpat seperti anak kecil yang takut ketahuan. Aku menertawakannya, hingga Val mendengarku mengumpat. Bert-lah yang tergelak paling akhir pada hari itu.

“Apanya yang lucu?” tanya sebuah suara di belakangku.

“Sialan, Leo.” Segaris warna biru melenceng ke dalam rumput di tembok. “Jangan mengendap-endap.”

“Aku sudah memanggil-manggil namamu sejak di puncak bukit. Lagi pula, dewan kota sudah mengizinkan tempat ini untuk grafiti. Kau ingat?” Dia menghabiskan potongan terakhir roti sosisnya. “Aku senang berdebar-debar bekerja di tempat kita bisa ditangkap.”

“Aku senang berdebar-debar melukis.”

“Benar juga.” Dia mengamatiku sejenak. “Tadi aku menghubungi ponselmu. Tidak aktif.”

“He-eh. Aku tidak membayar tagihannya.” Kuserahkan kaleng cat kepadanya. “Tulis kata-katanya. Aku lapar.”

Leo memandang lukisan langit luas di atas seekor burung yang sedang tidur itu. Dia menunjuk lukisan anak kecil di tembok. “Sentuhan manis.” Dia berpikir sedikit lebih lama. Sementara itu, aku memandang ke sekeliling. Lelaki tua yang bekerja di studio kerajinan kaca di seberang jalan sedang berada di undakan, mengetik SMS dan menatap kami. Setidaknya aku tahu kalau dia tidak sedang menelepon polisi.

Leo selalu membuat tulisannya sesuai dengan lukisanku. Terkadang, dia menggunakan jenis huruf yang didapatkannya secara daring. Kadang-kadang, dia membuat jenis huruf sendiri dan memberi nama huruf itu. Malam ini, dia menulis Damai di lukisan awan-awan dengan huruf melayang dan berkait. Lucu rasanya, dua orang bisa menatap hal yang sama tapi melihatnya dengan cara yang berbeda. Aku tidak menemukan kedamaian ketika melihat burung itu. Aku melihat masa depanku, dan kuharap masa depanku cuma sedang tidur.

Tangan Leo bergerak melintasi tembok, menuliskan nama kami. Dia selalu menulisnya dengan cara yang sama. Namanya, kemudian namaku, dengan jenis huruf yang disebutnya Phantasm.

Poet. Penyair.

Shadow. Bayangan.

Kami meninggalkan lelaki tua di undakan yang sedang menatap ke arah Vine Street dengan kopi di tangannya. Rumahku berjarak lima belas menit berjalan kaki dari sini jika menggunakan jalan utama, tapi aku dan Leo tidak pernah melakukannya. Kami selalu mengambil jalan kecil dan gang-gang.

Aku tinggal di seberang rel kereta. Jadi, kami meloncati pagar dan memotong jalan. Sambil berjalan, aku mengamati orang-orang bekerja. Aku senang melihat pikiran mereka menumbuk gerbong-gerbong kereta. Membuat kota bukan hanya milik orang lain, tapi milik kami juga.

“Aku bertemu Beth hari ini,” kata Leo. “Dia menanyakan kabarmu.” Dia melempari gerbong-gerbong rusak dengan batu. “Kedengarannya dia ingin kembali denganmu.”

Aku berhenti berjalan, mengeluarkan kaleng cat, dan melukis jantung seperti di kartu ucapan dengan pistol terarah ke sana. “Kami sudah putus hampir tiga bulan.” Sejak 1 Agustus. Bukan berarti aku menghitungnya.

“Kalau begitu, kau keberatan jika aku mengajaknya kencan?”

“Kau keberatan jika aku melukisi tembok-samping rumah nenekmu?”

Leo tertawa. “Ya, benar. Kau sudah putus.”

“Aku suka dia, tapi tidak lebih dari itu. Dulu, dia suka mencondongkan tubuh dan menciumku, lalu berhenti sejenak untuk membisikkan sesuatu yang lucu di telingaku, lalu menciumku lagi. Membuatku berteriak, ‘Ada apa denganmu, Ed? Jatuh cintalah kepadanya, Dasar Keparat.’”

“Dia tidak menganggap itu aneh?”

“Di dalam hati. Aku berteriak di dalam hati. Lagi pula, aku tidak pernah jatuh cinta kepadanya. Jadi, kurasa bagian otak yang mengendalikan cinta tidak merespons ketika dipanggil keparat.”

“Amit-amit, kuharap tidak ada bagian otakmu yang merespons ketika dipanggil keparat.”

“Benar juga.” Aku menyesal mengingat Beth melakukan hal itu, karena kini aku bisa merasakannya di telingaku, napas hangat dan gelitikan manis dan suaranya yang kedengaran seperti warna biru yang sedang kucari-cari itu.

“Dulu kau jatuh cinta kepada Emma?” tanyaku.

“Aku terobsesi mati-matian,” jawab Leo tanpa berpikir panjang. “Bukan jatuh cinta.”

“Apa bedanya?”

Dia hendak melemparkan batu ke lampu jalanan, tapi berhenti. “Penjara,” jawabnya sambil memasukkan batu itu ke saku.

Emma memutuskan Leo di akhir kelas kesebelas. Aku sudah tidak sekolah, sehingga kali pertama aku mendengar kabar itu adalah saat dia datang ke toko dan berteriak kalau dia membutuhkanku untuk menggambar di tembok rumah Emma.

“Dia tidak tahu kalau aku Poet,” katanya. “Jika dia tahu, dia akan menerimaku kembali.”

Emma tinggal di bagian kota yang bagus, di rumah bertingkat tiga. Mustahil kami bisa melukisi temboknya dan kabur dari sana. Malam itu akan berakhir buruk dan aku tahu, tapi Leo tidak bisa dibujuk, jadi aku memberitahunya kalau aku akan membawa cat dan menemuinya di rumah Emma pada pukul sepuluh.

Bert melihat ranselku penuh dengan kaleng cat ketika aku pergi. Dia tahu bahwa aku Shadow sejak minggu pertamaku bekerja untuknya. Aku boleh membuat grafiti asalkan bukan di tempat yang ada pemiliknya, itu aturan Bert. Jadi, itulah yang kulakukan. “Hati-hati,” katanya.

“‘Tanpa keberanian, tidak ada kemenangan’, bukankah itu yang selalu kau katakan?” tanyaku.

Wajah tuanya yang bercambang menatapku. “Jangan salah menyebut kebodohan dengan keberanian.”

Bert ada benarnya juga, tapi aku tetap melukis apa yang diinginkan Leo: seorang cowok dengan kata cinta ditorehkan keluar dari dadanya dan seorang cewek di sampingnya memegang gunting. Emma keluar dan melihat lukisan itu. Leo berlutut di depan tembok itu—cowok yang terluka karena cinta—memohon Emma agar menerimanya kembali.

Lihat selengkapnya