Under The Never Sky

Mizan Publishing
Chapter #1

1. Aria

Orang-orang menyebut dunia di luar dinding Pod sebagai “Gerai Maut”. Ada sejuta cara untuk mati di luar sana. Aria tak pernah menyangka dia akan sedekat itu.

Aria menggigit bibir sambil menatap pintu baja berat di hadapannya. Monitor menampilkan tulisan AGRIKULTUR 6—DILARANG MASUK dengan huruf-huruf yang berkedip-kedip.

Ag 6 itu cuma kubah pelayanan, kata Aria kepada dirinya. Lusinan kubah memasok makanan, air, oksigen untuk Reverie—semua hal yang dibutuhkan sebuah kota tertutup. Baru-baru ini Ag 6 rusak dilanda badai, tapi katanya kerusakannya hanya sedikit. Katanya.

“Mungkin sebaiknya kita kembali,” ujar Paisley. Dia berdiri di samping Aria di ruangan kedap udara sambil memilin-milin sejumput rambut merah panjangnya dengan gugup.

Tiga anak laki-laki merunduk dekat papan kendali di pintu, mengotak-atik sinyal agar mereka dapat keluar tanpa memicu tanda bahaya. Aria berusaha untuk tak menggubris percekcokan tanpa henti mereka.

“Ayolah, Paisley. Memangnya bakal seburuk apa, sih?”

Aria bermaksud bercanda, tapi suaranya terdengar terlalu melengking sehingga dia menutupinya dengan tertawa. Namun, tawanya terdengar agak histeris.

“Apa yang bisa terjadi di kubah rusak?” Paisley menghitung dengan jari-jarinya yang ramping. “Kulit kita bisa melepuh. Kita bisa terkunci di luar. Badai Aether bisa mengubah kita jadi daging panggang. Lalu, kaum kanibal bisa memakan kita untuk sarapan.”

“Ini cuma bagian lain dari Reverie,” Aria menenangkan.

“Bagian yang tidak boleh dimasuki.”

“Pais, kau tak perlu ikut.”

“Kau juga tidak,” kata Paisley, tapi dia salah.

Selama lima hari terakhir ini, Aria terus-menerus mengkhawatirkan ibunya. Mengapa ibunya tidak menghubunginya? Lumina tidak pernah melewatkan pertemuan harian mereka, tak peduli sesibuk apa pun penelitian kedokterannya. Kalau Aria menginginkan jawaban, dia harus masuk ke kubah itu.

“Untuk keseratus—bukan, keseribu—kalinya, Ag 6 aman,” kata Soren tanpa berpaling dari papan kendali. “Kalian pikir aku mau mati malam ini?”

Dia benar juga. Soren terlalu mencintai diri sendiri sehingga tak mungkin mempertaruhkan nyawanya. Tatapan Aria jatuh ke punggung berotot remaja itu. Soren adalah putra Direktur Keamanan Reverie. Dia punya jenis tubuh yang istimewa. Kulitnya kecokelatan, dan itu menggelikan mengingat tak seorang pun dari mereka yang pernah melihat matahari. Dia juga jago meretas kode.

Bane dan Echo memperhatikan di samping Soren. Kakak-beradik tersebut mengikuti pemuda itu ke mana-mana. Soren biasanya punya ratusan pengikut, tapi itu di Kawasan. Malam ini hanya ada mereka berlima di ruang kedap udara sempit ini. Hanya lima orang yang melanggar peraturan.

Soren menegakkan diri sambil menyunggingkan senyuman congkak. “Aku harus membicarakan protokol keamanan ini dengan ayahku.”

“Kau berhasil?” tanya Aria.

Soren mengedikkan bahu. “Kau meragukanku? Nah, sekarang bagian terbaiknya. Saatnya mematikan.”

“Tunggu,” sergah Paisley. “Kupikir kau cuma akan mengacaukan Smarteye kita.”

“Aku sudah mengacaukannya, tapi itu tak memberi kita cukup waktu. Kita harus mematikannya.”

Aria mengusap Smarteye-nya dengan satu jari. Alat jernih itu selalu terpasang pada mata kirinya dan juga selalu menyala. Smarteye memungkinkan mereka pergi ke Kawasan, tempat virtual untuk menghabiskan sebagian besar waktu.

“Caleb bakal membunuh kita kalau kita tidak segera kembali,” ujar Paisley.

Aria memutar bola matanya. “Abangmu dan ma-lam-malam bertemanya.” Biasanya, Aria menjelajahi Kawasan bersama Paisley dan abangnya, Caleb, dari tempat kesukaan mereka di Ruang Santai Gen Kedua. Sepanjang bulan sebelumnya, Caleb merencanakan malam-malam bertema untuk mereka. Tema malam ini, “Feeding Friend-zies,” dimulai di Kawasan Romawi tempat mereka berpesta daging panggang dan ragut lobster. Setelah itu, mereka akan pelesir memberi makan Minotaur di Kawasan Mitologi. “Aku senang kita pergi sebelum memberi makan piranha.”

Berkat Smarteye, Aria dapat berkomunikasi setiap hari dengan ibunya yang pergi ke Bliss, Pod lain yang berjarak lebih dari seratus kilometer, demi penelitiannya. Jarak itu tak pernah jadi masalah sampai lima hari lalu, ketika hubungan dengan Bliss terputus.

“Berapa lama rencananya kita di luar sana?” tanya Aria. Dia butuh beberapa menit berdua saja dengan Soren. Cukup lama untuk bertanya tentang Bliss.

Sebuah cengiran membelah wajah Bane. “Cukup lama untuk berpesta sungguhan!”

Echo menyingkirkan rambutnya yang tergerai hingga ke mata. “Cukup lama untuk berpesta secara lang-sung!”

Nama asli Echo adalah Theo tapi hanya sedikit orang yang mengingatnya. Nama panggilannya, yang berarti gema, terlalu pas untuknya.

“Kita matikan selama satu jam.” Soren mengedipkan sebelah mata kepada Aria. “Tapi jangan khawatir, nanti aku akan ‘menyalakanmu’ lagi.”

Aria memaksakan diri untuk tertawa genit menggoda. “Sebaiknya begitu.”

Paisley melemparkan tatapan curiga kepada Aria. Gadis itu tidak tahu rencana Aria. Sesuatu telah menimpa Bliss, dan Aria tahu Soren bisa mendapatkan informasi dari ayahnya.

Soren menggerakkan bahu bidangnya seperti petinju yang tengah melangkah ke arena tinju. “Baiklah, Glitches. Pegang celana kalian erat-erat. Kita akan padam dalam tiga, dua—”

Aria terperanjat mendengar suara berdering nyaring yang datang dari dalam telinganya. Dinding merah menghantam bidang penglihatannya. Jarum-jarum panas menyakitkan menancapi mata kirinya, kemudian menyebar ke seluruh kulit kepala. Jarum-jarum itu berkumpul di dasar tengkoraknya kemudian memelesat menjalari tulang punggung, lalu meledak menyebar ke tangan dan kakinya. Dia mendengar salah satu anak lelaki memaki pelan dengan lega. Tembok merah itu lenyap secepat datangnya.

Aria berkedip beberapa kali, bingung. Ikon-ikon Kawasan kesukaannya lenyap. Antrean pesan dan berita yang merayap di bagian bawah Smartscreen-nya juga tidak ada. Yang tersisa hanyalah pintu kedap udara yang tampak membosankan dari balik film tipis. Dia menunduk memandang sepatu bot kelabunya.

Kelabu Muda. Warna yang menutupi hampir semua permukaan di Reverie. Mengapa kelabu tampak kurang hidup begini?

Perasaan kesepian merayapi Aria walaupun dia berdesak-desakan dalam ruangan kecil. Dia tak menyangka manusia pernah hidup seperti ini, tanpa apa-apa kecuali kenyataan. Orang-orang liar di luar masih hidup seperti ini.

“Berhasil,” Soren bersorak. “Kita padam! Kita daging mentah!”

Bane melonjak-lonjak. “Kita seperti Orang Liar!”

“Kita Orang Liar!” Echo berseru. “Kita Orang Luar!”

Paisley terus-menerus mengerjap. Aria ingin menenangkannya, tapi dia tidak bisa berkonsentrasi dengan adanya Bane dan Echo yang berteriak-teriak di tempat kecil itu.

Soren memutar jeruji manual di pintu. Tekanan ruangan menurun diiringi suara desis cepat dan masuknya udara sejuk. Aria menunduk, terkejut melihat tangan Paisley mencengkeram tangannya. Dia hanya punya sedetik untuk meresapi fakta bahwa selama berbulan-bulan ini dia tak pernah menyentuh siapasiapa, sejak ibunya pergi, sebelum Soren menggeser pintu hingga terbuka.

“Akhirnya, kebebasan,” kata Soren yang kemudian melangkah ke dalam kegelapan.

Di bawah sorotan cahaya yang tumpah dari ruangan kedap udara itu, Aria melihat lantai licin seperti yang terbentang di segala penjuru Reverie. Namun, lantai yang ini ditutupi lapisan debu. Telapak kaki Soren meninggalkan jejak menuju keremangan.

Bagaimana kalau kubah ini tidak aman? Bagaimana kalau Ag 6 dirayapi berbagai bahaya dari luar? Sejuta kematian ada di Gerai Maut. Sejuta penyakit mungkin berenang-renang di udara dan memelesat melewati pipinya. Mendadak menarik napas terasa bagaikan bunuh diri.

Aria mendengar bunyi bip-bip papan tombol dari tempat Soren. Jalur-jalur cahaya berkelap-kelip menyala diiringi serangkaian bunyi klik nyaring. Sebuah ruangan bagaikan gua muncul. Jalur-jalur perkebunan berbaris lurus memanjang seperti garis-garis. Tinggi di atasnya, pipa dan rusuk malang-melintang di langit-langit. Aria tidak melihat lubang menganga atau tanda-tanda kerusakan lain. Dengan lantai kotor dan keheningannya, kubah ini benar-benar tampak terbengkalai.

Soren melompat ke depan ambang pintu dan berpegangan ke kosennya.

“Salahkan aku kalau ini ternyata malam paling asyik dalam hidup kalian.”

***

Makanan tumbuh dari gundukan plastik setinggi pinggang. Baris demi baris buah dan sayur busuk tersebar di sekeliling Aria, tanpa terputus. Seperti segala hal di dalam Pod, tumbuh-tumbuhan itu telah direkayasa secara genetis agar efisien. Tumbuhan itu tidak punya daun, tidak butuh tanah, serta hanya butuh sedikit air untuk tumbuh.

Aria memetik sebutir persik layu, berjengit melihat betapa mudah dia melukai daging buahnya yang empuk. Di dalam Kawasan, makanan masih tumbuh, atau berpura-pura tumbuh secara virtual, di pertanian-pertanian dengan lumbung-lumbung merah dan hamparan ladang di bawah langit cerah. Dia ingat slogan terakhir Smarteye, Lebih Baik daripada Kenyataan. Dalam hal ini, slogan itu benar. Makanan sungguhan di Ag 6 bagaikan manula sebelum perawatan pembalikan umur.

Ketiga anak lelaki itu menghabiskan sepuluh me-nit pertama dengan berkejaran di lorong-lorong dan melompati deretan kebun. Kegiatan itu berubah menjadi permainan yang Soren beri nama “Bola Busuk”, terdiri dari saling lempar buah dan sayur. Aria bermain sebentar, tapi Soren terus-menerus membidiknya dan melempar terlalu keras.

Lihat selengkapnya