Gadis Penghuni itu memandang Perry, darah mengaliri wajahnya yang pucat. Dia melangkah mundur beberapa kali, menjauh, tapi Perry tahu gadis itu tak akan mampu berdiri lama. Tidak dengan pupil lebar seperti itu. Selangkah lagi dan kakinya pun menyerah, membuat gadis itu ambruk.
Yang lelaki berdiri di belakang tubuh terkulai si Gadis. Dia menatap Perry dengan matanya yang aneh, satu normal sementara satu lagi tertutup tampal jernih seperti yang dipakai oleh semua Penghuni. Teman-teman pemuda itu memanggilnya Soren.
“Orang Luar?” katanya. “Bagaimana caramu masuk?”
Itu bahasa Perry, tapi lebih tajam. Kasar di tempat yang seharusnya halus. Perry menarik napas lambatlambat. Walaupun ada asap, suasana hati Penghuni itu menggantung tebal di lapangan. Rasa haus darah menguarkan bau merah membara, serupa pada manusia maupun binatang.
“Kau datang saat kami datang.” Soren tertawa. “Kau datang setelah aku melumpuhkan sistem.”
Perry memutar pisaunya agar pegangannya lebih erat. Apakah si Penghuni ini tidak menyadari apinya mendekat? “Pergilah, kalau tidak kau akan terbakar, Penghuni.”
Soren terperanjat mendengar Perry bicara. Kemudian dia menyeringai, menampakkan gigi-gigi persegi seputih salju. “Kau nyata. Aku tak percaya ini.” Tanpa merasa takut, dia melangkah maju seolah-olah dialah yang memegang pisau, bukan Perry. “Kalau aku bisa pergi, Orang Liar, aku sudah melakukannya dari tadi.”
Perry lebih tinggi satu kepala, tapi kalah bobot dibandingkan Soren. Tulang-tulang Soren terbenam dalam-dalam di balik ototnya. Perry jarang melihat orang sebesar itu. Mereka tak punya cukup makanan untuk tumbuh setebal itu. Tidak seperti di sini.
“Kau menghampiri kematianmu, Tikus Mondok,” Perry memperingatkan.
“Tikus Mondok? Itu kurang tepat, Orang Liar. Sebagian besar Pod berada di atas tanah. Kami tidak mati muda. Kami juga tak mengalami luka. Kami bahkan tidak bisa merusak sesuatu.” Soren memandang ke bawah ke arah gadis itu. Ketika kembali menatap Perry, dia berhenti berjalan. Kejadiannya begitu cepat, momentumnya mengguncang Perry sampai ke ujung jari kaki. Penghuni itu berubah pikiran tentang sesuatu.
Soren menatap melewatinya. Perry menghirup udara. Asap hutan. Plastik terbakar. Api yang semakin besar. Dia menarik napas lagi, menangkap sesuatu yang sudah diduganya. Bau Penghuni lain, mendekatinya dari belakang. Tadi dia melihat tiga laki-laki. Soren dan dua orang lainnya. Apakah keduanya mengendap-endap mendekat, atau hanya satu? Perry menarik napas lagi tapi tak dapat mengetahuinya. Asap terlalu tebal.
Tatapan mata Soren jatuh ke tangan Perry. “Kau mahir menggunakan pisau, ya?”
“Cukup mahir.”
“Kau pernah membunuh seseorang? Aku yakin pernah.”
Soren sedang mengulur waktu supaya siapa pun yang ada di belakang Perry mendekat.