Vio dengan berat hati harus pergi ke dokter terapis karena sakit di bahunya semakin parah. Padahal dia lebih suka membantu Sofi untuk membersihkan toko baru mereka. Sofi bersikeras agar Vio tetap fokus pada bahunya yang selalu kambuh setiap kali dia beraktifitas secara berlebihan. Contohnya karena insidennya bersama dengan Kai yang mengharuskan dia berenang dengan pakaian lengkap. Alhasil bahunya terlalu di paksa untuk bergerak secara cepat. Ototnya menjadi kencang dan kaku. Bahkan tidur-pun dia tidak bisa.
Setelah mencari-cari dokter terapis yang berada di Velvet akhirnya Vio menemukan sebuah klinik fisioterapi yang berada di pusat kota. Untuk mencapai ke sana dia harus naik dua kali bis yang dia lakukan sejak lima belas menit yang lalu. Sekarang di bis kedua dia sudah tidak tahan untuk keluar karena tatapan mata semua orang di dalam bis berwarna untuk itu.
“Apa kamu baru disini?” tanya Ibu tua berkacamata tebal di sampingnya.
“Iya.” Vio berusaha tersenyum untuk menutup pembicaraan.
Ibu tua itu seperti tidak puas dengan jawabannya. “Dimana kamu tinggal?”
Vio menghela nafas terlebih dahulu. Sofi orang ahli dalam bersosialisasi. Bukan dia. “Aster Lilac.”
Mata ibunya bersinar. “Wah, kita di perumahan yang sama. Di blok apa kamu tinggal?”
Vio melihat semua orang masih sesekali menatap dirinya. Vio merasa seperti selebriti. “A-11.”
Ibu itu menyeringai. “Berarti kamu bertetangga dengan keluarga Milano. Apa kamu sudah berkenalan dengan Mykailo?”
Vio tahu maksud ibu itu Kai tapi betapa benci nya dia harus membahas laki-lagi itu lagi. “Aku sudah bertemu dengan keluarga itu.”
“Mereka keluarga yang baik. Sayangnya nasib malang selalu menimpa keluarga itu.” Ibu itu berkata simpatik. ”Ibu Kai meninggalkan mereka saat Devon baru saja berumur enam tahun. Nenek mereka meninggal tiga tahun kemudian. Lalu pacar Kai meninggalkannya sekitar lima tahun yang lalu. Wanita sepertinya hanya membawa bencana di keluarga itu.”
Vio terdiam. Keluarga itu berarti memiliki sejarah yang tidak menyenangkan seperti dirinya. Tapi keluarga itu tampak bahagia dibandingkan keluarganya. Mungkin saja mereka sudah melupakan kemalangan -kemalangan itu.
Vio akhirnya turun lima menit kemudian dengan tetap mendapat tatapan penasaran dari semua penumpang. Dia berusaha melupakannya dan dia berjalan menuju klinik dari stasiun bis. Karena Perjalanan tidak terlalu jauh, matahari yang terik tidak begitu mengganggu perjalanan dia.
Klinik bernama Krisantemum itu hanya memiliki satu lantai dengan aksen modern dan jendela-jendela unik. Vio masuk dan mendaftar ke bagian resepsionis. Dokter yang dia akan temui hari ini adalah dokter Albert. Menurut beberapa forum kota ini, dokter ini sudah banyak menangani pasien dengan kendala seperti dirinya.
“Nomor delapan, Violette Marsheline.” Seorang perawat memanggil Vio setelah menunggu selama satu jam lebih.
Ruangan dokter Albert memiliki aroma yang sangat khas. Wangi permen mint yang sangat menggoda penciuman siapapun. Di meja, dokter Albert yang masih cukup muda itu menyambutnya dengan senyuman santai.
“Violette. Aku rasa kamu belum pernah berada di sini sebelumnya. Boleh kamu ceritakan keluhan-mu?”
Vio berusaha mengungkapkan sedikit mungkin informasi mengenai alasan di balik cederanya itu. Cukup dia dan temannya saja yang perlu tahu. “Aku sempat mengalami cedera beberapa tahun yang lalu. Aku terjatuh dan bahuku serta leher menabrak dinding rumah.”
Dokter Albert seperti mencerna perkataan itu. “Terjatuh dari tangga?”
Vio hanya mengangguk. Dia berbohong. “Ya. Aku seharusnya berhati-hati.”
“Apa kamu sudah pernah melakukan scan? Di dua bagian itu?” tanya Dokter Albert lagi.
“Ya.” Vio mengingat betapa mahalnya melakukan MRI di rumah sakit lamanya. “Ada masalah di bagian C5. Seperti ada pergeseran tulang. Tapi sayangnya aku tidak membawa hasilnya. Gambar hasil MRI ada di rumahku yang lama. Aku baru pindah kemari.”
Dokter Albert mengangguk. “Jika kamu punya data dalam bentuk digital itu akan sangat membantu. Karena lebih baik kita tidak membuang uang lagi untuk melakukan tes kembali. Apa datanya bisa kamu kirimkan sebelum pertemuan berikutnya?”
“Aku akan mengirimnya.” Vio akan meminta rumah sakitnya yang terdahulu untuk bisa mendapatkan copy-nya.
Dokter Albert meminta Vio untuk duduk di meja periksa dan dia melakukan beberapa tes fisik dan mengecek bagaimana postur tubuh Vio sejauh ini. Setelah sekitar lima menit, diputuskan bahwa Vio harus melakukan fisioterapi minimal satu kali dalam satu minggu.
“Kamu bisa mengatur jadwalnya dengan perawat. Kamu hanya perlu mengabarkan mereka hari dan jam yang sesuai dengan keinginan-mu.” Dokter Albert berkata sambil mengetik beberapa resep di komputer miliknya.
Seseorang mengetok ruangan dan seorang perawat wanita mungil masuk dan berbisik pada dokter. “Mykailo Milano sudah ada di depan.”
Dokter Albert menoleh, “Oke, dia boleh masuk setelah Violette selesai. Minta dia menunggu sebentar.”
Vio tidak tahu apakah hari kemarin atau hari ini adalah hari ter buruk baginya. Dia lagi-lagi harus berjumpa dengan pemuda itu lagi. Mereka pasti akan bertatapan muka saat dia keluar nanti.
“Baiklah.” Dokter Albert tersenyum. “Setelah ini kamu bisa ke recepsionis dan menyelesaikan pengambilan obat-obatan-mu.”
Vio berdiri dan berterima kasih dengan tergesa-gesa. Sepertinya kehadiran Kai sekali lagi membuat jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Vio mempersiapkan dirinya dengan menarik nafas dan membuka pintu. Dia menoleh ke kiri dan kanan dan menemukan suara-suara perempuan yang ada di sana ada yang berbisik, berteriak kecil dan juga berdiri dengan semangat pada sosok yang sedang berdiri di depan meja resepsionis.
Kai.
Dengan kaus polo nya yang begitu ketat di tub*hnya, tinggi tubuhnya yang membuat iri semua pria yang ada di sana, serta senyumannya yang sepertinya melelehkan semua perawat yang sedang dia ajak bicara.
Dan Vio harus berjalan ke sana untuk menyelesaikan administrasi.
Gadis itu mengurungkan dirinya sendiri kenapa memilih Klinik itu.
Vio mencengkram tasnya sambil berjalan ke arah meja putih milik karyawan resepsionis. Dia berusaha berdiri di ujung agar tidak terlalu dekat dengan pemuda itu. Dia berusaha tidak menoleh dan mengabaikan keberadaannya.