“Anak perempuan ngapain sekolah di SMA elit kayak gitu? Kenapa bukan Herman aja yang di sana? Ngabisin duit!”
Agni menunduk, mengikat tali sepatu di ruang depan sambil berusaha menebalkan telinga. Dia menghela napas pendek, lelah mendengar ocehan pamannya yang sedari kemarin masih membahas masalah sama. Masih juga dengan muka berkerut-kerut dan bibir menjepit batangan tembakau lalu mengembus asapnya dengan ekspresi seolah Agni baru melakukan hal tercela.
Gadis berambut gelap yang dikepang jatuh di punggung kurus itu, mendongak lalu menoleh. Dia melihat bibinya—Tante Elina—masih membereskan meja makan. Padahal Agni sudah menawarkan diri untuk mencuci tapi Tante Elina malah cepat-cepat mendorongnya keluar dari ruang makan. Sekarang dia merasa bersalah karena sang bibi harus mendengar ceracau dari suaminya yang jelas-jelas tidak peduli istrinya berjibaku di wastafel dengan sisa-sisa tenaga setelah sif malam.
Agni ganti melirik pada pamannya yang berbadan tambun dengan kumis tebal dan raut menyebalkan—Om Bima. Badannya memang besar tapi sayang, wataknya sama sekali tak pemberani seperti tokoh pewayangan Pandawa Lima yang gagah itu. Selain mengomel soal betapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai hidup si keponakan, Om Bima lebih sering ada di luar rumah bersama teman-temannya, pulang larut dengan bau napas tidak enak dan badan terhuyung-huyung sebelum akhirnya muntah-muntah di ruang tamu.
Sementara Tante Elina bekerja di pabrik makanan ringan enam hari dalam seminggu dan waktu kerja yang diganti-ganti—sif pagi, sore, dan malam. Badannya tampak ringkih tetapi wanita paruh baya itu begitu gesit, sigap. Terbiasa bangun sebelum azan Subuh, Tante Elina mengambil wudu sementara suaminya membentak-bentak kalau diingatkan untuk salat. Setelah sembahyang, wanita berambut pendek itu masuk dapur dan memasak makanan untuk sarapan pagi. Ekstra kopi hitam untuk suaminya yang baru bangun satu jam kemudian sembari mengeluh betapa pegal-pegal badannya.
Agni tak peduli apa pun tentang pamannya yang egois dan payah. Gadis itu bersimpati pada sang bibi, yang dianggap terlalu apik untuk si paman congkak. Hanya Tante Elina yang tulus menyayangi Agni sejak gadis itu masuk ke rumahnya di usia masih sangat muda dan remaja tersebut sangat berterima kasih.
“Sudah kubilang, Agni bisa masuk karena beasiswa jadi biayanya gratis. Anaknya kan memang pintar. Kalau Herman, dari nilai olahraga saja nggak masuk karena kebanyakan bolos. Ya, gimana bisa ikut masuk?” Terdengar suara Tante Elina di sela-sela denting peralatan makan. Nada suaranya terdengar lelah dan jengkel.
“Tetap saja! Butuh duit buat transpor, makan, ini itu. Adikmu kapan waras? Sudah gerah aku diomongi teman-teman di pos. Mereka ngatain kalau aku sial punya ipar edan!” Om Bima mengambil gelas kopi, meneguk minumannya dengan suara berkecap-kecap lalu menarik piring nasi goreng dan mulai melahap sisa sarapannya dengan serampangan.
Tangan Agni mengepal di sisi tubuh saat bangkit. Matanya nyalang, menyorot marah pada Om Bima yang mulai menyulut rokok padahal tahu kalau istrinya sensitif terhadap bau tembakau.
Tahan, sabar, batin Agni sambil menarik napas panjang lalu melambai pada Tante Elina yang selesai mencuci piring dan datang menghampirinya. Wanita berambut hitam keriting itu menengok ke arah suaminya yang sudah selesai makan dan sekarang berpindah ke halaman belakang, lalu menyelipkan selembar uang berwarna biru ke tangan Agni.
“Buat jajan,” katanya dengan nada lembut. “Tadinya Tante mau buatkan bekal tapi khawatir kamu malu. Sekolah elit begitu, biasanya pada makan di kafe, ya? Ambil, beli makan siang yang enak.”
Agni balik menyelipkan uang itu ke tangan bibinya dan menggeleng. “Nggak, aku ada uang. Ini Tante simpan aja. Buat beli kebutuhan Tante sendiri.”
Elina menerima uang itu tapi lalu memutar badan keponakannya dan menaruh uang itu di saku depan tas. Agni tak bisa menolak lagi dan hanya bisa mengucap terima kasih sambil tersenyum.
“Jangan pikirkan perkataan Om Bima tadi. Kamu tahu, kan, kalau ibumu itu sepenuhnya waras? Dia cuma sedang sakit dan dia tetap ibumu. Dia hanya perlu waktu agak lama untuk sembuh. Tante yakin dia bisa kembali seperti semula dan ….”