Tadinya, Agni mengira kalau orang-orang bicara berlebihan soal SMA swasta di pusat kota ini. Rumor kalau bangunannya mewah dengan anak-anak berduit yang bahkan membawa mobil sport, sama sekali tak berpengaruh padanya. Tujuan Agni masuk ke sekolah elite itu hanya satu: memanfaatkan koneksi SMA Gempita Surya dengan salah satu akademi stuntman terbaik di dunia lalu mendapat uang banyak dari pekerjaan itu.
Sejak tahu kalau SMA Gempita Surya menelurkan para pemain pengganti yang lolos dalam jajaran stuntman Hollywood, Agni tidak punya dedikasi lain. Selama hidupnya—sejak diganggu oleh berandal—Agni hanya tahu dunia bela diri. Dan dia belajar juga berlatih banyak soal itu, mengikuti banyak klub mulai dari taekwondo, tinju, muay thai, bahkan wing chun. Semua klub bela diri di sekolah yang sanggup diikutinya. Agni bertekad untuk tidak berhenti dan menghalau semua yang menghadang, termasuk kenyataan kalau dirinya berasal dari keluarga tidak utuh dan harus menumpang hidup bersama saudaranya.
Namun, berdiri di ambang gerbang megah seperti saat ini, membuat Agni tertegun. Membuatnya merasa berada di dunia berbeda. Gerbang dengan dinding batu kelabu itu membentengi halaman depan dari dunia luar. Dia berjalan—agak ragu—perlahan ke jalur masuk dan segera menyingkir saat mendengar suara klakson mobil dari arah belakang. Saat menoleh, Agni mendapati BMW putih dengan atap terbuka, meluncur mulus. Seorang cewek berkacamata hitam, mengendarai kendaraan sambil melambai pada seorang cowok yang melintas dengan motor sport merah menyala. Pakaian mereka dan kulit yang terlihat mulus di bawah cahaya matahari, membuat Agni merasa kalau anak-anak itu berasal dari dunia lain.
Agni belum pernah merasa terintimidasi sebelumnya dan sekarang, dirinya merasa ada di planet asing. Dia berjalan di jalan berbatu dan menebar pandang. Halaman rumput di sisi kiri kanan itu rindang dengan pohon-pohon besar. Bangku-bangku kayu tampak mengilap diterpa cercah-cercah cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan. Sementara, bangunan sekolah yang tampak mewah mulai terlihat setelah Agni berjalan selama beberapa menit.
Gedung itu mengadaptasi gaya neoklasikal dengan dinding-dinding bata kemerahan, pilar-pilar di ambang anak tangga dan atap berbentuk segitiga elegan. Jendela-jendela sekolah tak didesain minimalis seperti sekolah biasa. Alih-alih menggunakan bingkai kayu dengan bentuk sederhana, jendela bangunan itu tinggi, terbagi sekat-sekat yang membuatnya tampak seperti potongan jendela mungil dijadikan satu bagian besar.
Bukan hanya itu. Para siswa yang sudah selesai memarkir kendaraan—semua tipe mobil dan motor mewah—juga kelihatan baru keluar dari catwalk. Agni sudah mencari tahu aturan sekolah ini dan salah satu yang paling mencolok—juga membuat siswa sekolah lain iri—adalah kebebasan memodifikasi seragam juga bolehnya mengecat rambut. Agni tidak terlalu terkejut melihat seorang cewek mengenakan berbagai macam aksesori di tubuh atau cowok mengenakan mantel panjang di atas seragam kelabunya.
Seorang cewek memotong roknya jadi lebih pendek daripada yang dikenakan Agni, sementara gadis lain justru menambah potongan kain lain sehingga rok itu tampak seperti karya seni perca. Unik, sekaligus modis. Agni berusaha mengabaikan pemandangan dan melangkah di anak tangga, berjalan ke ruang guru untuk mendapat jadwal dan ruang kelas.
“Namanya Agnia Sesoca tapi kalian bisa memanggilnya dengan Agni. Mungkin agak aneh karena dia masuk di pertengahan semester seperti ini, tapi Agni baru lolos seleksi beasiswa khusus. Ibu harap kalian bisa berteman dengan baik. Nah, mungkin Agni mau memperkenalkan diri? Kamu bisa me—”
“Di mana saya harus duduk?” Agni memotong, merasa gerah dengan tatapan murid-murid di kelas yang seolah ingin membelah tubuhnya itu. Mereka saling berbisik dan menunjuk—tanpa segan—dengan suara tertahan. Bahkan, Agni juga mendengar suara tawa tertahan dari meja di dekat pintu kelas.
Guru dengan setelan blazer merah muda pucat itu kelihatan kaget sesaat sebelum akhirnya menunjuk salah satu meja di barisan belakang, dekat jendela. Agni melenggang cepat di antara meja-meja lain dan hampir terjatuh ketika seorang cewek tiba-tiba mengeluarkan kaki dari area bangkunya.
Agni refleks melompat kecil, melakukan gerakan halus nan mantap lalu mendarat dengan aman tanpa terjatuh atau terhuyung. Dia melirik pada cewek berambut hitam yang tampak manis, tapi memiliki sorot mata licik itu. Gadis itu tampak terpana saat Agni mengelak.
“Mau mampus?” desis Agni tanpa ragu dan membuat beberapa murid terkesiap.
Agni tak melanjutkan saat guru mulai mengabsen nama-nama siswa. Dia menarik kursi, mengempaskan diri di sana dan melihat keluar jendela.
Sepanjang pelajaran, gadis itu tak memperlihatkan minat—apalagi terhadap matematika. Selain itu, dia merasa beberapa pasang mata mengawasinya, seolah bersiap menerkam setelah pelajaran selesai.
Gadis itu memalingkan wajah ke sisi lain. Netranya bersirobok dengan mata terbalut lensa kontak yang kemudian lekas melepas pandang darinya. Cewek itu mendesah sebelum menopang dagu dengan tangan kanannya. Agni sudah terbiasa dikucilkan, diejek, dirundung. Sebut saja dan mungkin gadis itu sudah mengalami semuanya terlebih ketika orang-orang tahu dia tak memiliki orang tua—tepatnya tidak punya ayah—tinggal bersama paman dan bibi serta memiliki cacat di wajah—luka sepanjang satu sentimeter di atas bibir dan dua sentimeter yang melintang di atas alis.
Agni memandang lurus, mengangkat dagunya tinggi-tinggi ketika bisik-bisik itu memenuhi lorong saat istirahat makan siang. Dia berusaha cuek dengan pandangan orang yang mengarah ke mata dan bibirnya. Bekas luka itu memang tidak hilang dan kalau Agni mau, dia harus melakukan operasi plastik kecil agar bekas jahitan itu dapat hilang permanen.
Agni tidak menginginkannya karena menganggap itu adalah tanda mata. Hadiah yang mengingatkannya untuk tak mudah percaya pada orang lain. Bekas luka yang menjadikannya seperti sekarang ini.
“Lihat nggak mukanya? Kayak monster.”
Agni refleks berhenti ketika berpapasan dengan cewek berambut toska dengan kancing kemeja terbuka di bagian atas. Siswi dalam balutan rok pendek dan atasan ketat berpadu blazer krem itu cekikikan sambil meliriknya.