Agni sampai ke restoran Vietnam yang harus ditempuh satu kali dengan naik bus. Seorang pria paruh baya berseragam merah gelap, tersenyum padanya di pintu kaca dan mempersilakan gadis itu untuk masuk. Agni melenggang, melewati beberapa pengunjung yang sedang menikmati makanan mereka di meja.
Restoran itu cukup luas dengan furnitur yang mengusung warna-warna alam. Meja dan kursi terbuat dari kayu bernuansa klasik, terbalut dalam warna cokelat gelap ditutup taplak putih berenda. Dinding-dinding memiliki kesan hangat dengan kertas pelapis berwarna kuning lembut yang ditimpa cahaya dari lentera-lentera merah. Ada beberapa pot tanaman di sudut-sudut ruangan, sementara hiasan lain seperti caping kerosok dan sepeda kuno diletakkan di dekat kasir, memberi atmosfer masa silam khas Vietnam.
Agni mencium aroma pho yang jadi makanan terlaris di tempat tersebut ketika melewati lemari antik, menuju ke ruangan belakang. Dia mengangguk pada beberapa orang, melewati dapur yang terasa panas dan berisik dengan denting peralatan masak dan uap-uap melayang di udara lalu masuk ke kamar lain. Ruangan itu seperti kotak sempit dan tidak ada apa-apa di sisi-sisinya. Agni mengeluarkan penutup wajah dari dalam tas dan memakainya sebelum menyibak tirai plastik.
Ada dua pria berambut cepak dengan kaus dan celana hitam yang berdiri di dekat pintu ganda bercat senada. Agni mengeluarkan kalung dari balik seragam, memperlihatkan bandul kecil berwarna perak berbentuk sayap burung dan kedua pria itu mengangguk sembari membukakan pintu.
Agni masuk dan melihat pemandangan yang jauh berbeda dari bagian restoran.
Orang-orang bersorak, mengerumuni panggung yang didesain dalam bentuk segi enam dengan sisi-sisi dilapisi jaring besi tebal berwarna merah dan hitam. Di bagian depan, meja-meja bundar disusun rapi dan terisi penuh oleh pria-pria bersetelan mahal. Sementara, penonton lain berdiri dengan wajah-wajah bersemangat di belakangnya. Beberapa dari mereka membawa spanduk-spanduk kecil dengan nama petarung tercetak dalam warna merah atau hitam.
Agni menerobos orang-orang dan berjalan menuju barisan bawah, melenggang ke pintu kecil yang dijaga seorang pria dengan jas kelabu.
“Kamu terlambat,” ujarnya dengan suara dalam dan dingin. Menambah ekspresi seram dengan mata sipit dan bibir tipis yang tak pernah tersenyum pada Agni.
“Ada sedikit masalah. Lagian, mereka juga belum selesai,” balas Agni sambil memberi isyarat pada dua pria bercelana pendek yang saling adu jotos di panggung.
“Cepatlah bersiap.” Pria itu tampak tak peduli dengan alasan Agni dan membuka pintu dengan sekali entak.
Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi dan segera masuk. Dia mendapati kalau ruang ganti itu kosong dan bergegas ke kamar mandi yang ada di belakang lemari besi. Setelah memastikan pintunya terkunci rapat, Agni melepas topeng dan mengeluarkan beberapa benda dari dalam ransel—setelan jogging berwarna merah menyala, pewarna rambut yang bisa dibilas, dan cat wajah.
Agni mengganti seragam dengan setelan merah itu, memasukkan kemeja dan rok ke ransel dengan rapi lalu mulai mewarnai rambut. Agni menutup mata dan mengarahkan botol semprot ke kepala. Seketika, warna hitam itu lenyap, berganti dengan warna scarlet. Setelah memastikan tidak ada warna hitam yang menyembul, Agni mulai melukis wajahnya dengan cat putih, kemudian membubuhkan sulur-sulur yang terlihat seperti lidah api dengan cat merah. Setelah berlatih di rumah, tidak butuh waktu lama untuk menutupi wajah aslinya dengan lukisan itu.
Agni memandang pantulannya di cermin dan menarik napas panjang.
Di sini, tidak ada Agnia Sesoca.
Di sini, dia adalah Api Bawah Tanah.
***
Agni memicingkan mata saat naik ke arena karena cahaya lampu sangat terang, kontras dengan penerangan temaram di bawah panggung. Meski begitu, dia masih bisa melihat ekspresi rakus dari orang-orang yang bersenang-senang dengan cara kurang ajar. Para perlente itu mengacungkan uang dalam berbagai pecahan dan warna, tertawa-tawa seolah mereka raja dunia. Minuman-minuman dalam botol dan gelas beragam bentuk, bertengger manis di atas meja sementara beberapa pemiliknya sudah ambruk ke lantai yang sempit. Kalau tak dibangunkan, pria-pria itu bisa saja terinjak sepatu-sepatu bertumit tinggi dari perempuan-perempuan yang datang mengharap duit lebih.
“DAN INI JUARA BERTAHAN DI PALCO PRETO! GADIS API BAWAH TANAH!”
Sorakan makin membahana saat Agni berdiri dan menunggu lawannya hari itu naik ke panggung. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa untuk menyapa para ‘penggemar’. Dia hanya ingin pertandingan itu cepat dimulai, lekas selesai, dan bisa kembali ke rumah pamannya yang menyebalkan.
Agni melihat seorang pemuda dengan rambut keriting berantakan berwarna perak, naik dalam sekali lompat. Tubuhnya ringan, memberi isyarat kalau si pemilik suka melatih otot-otot yang terbalut dalam kaus tanpa lengan tersebut. Kakinya telanjang, dengan cepat melangkah dalam kuda-kuda berirama yang membuat Agni mengira kalau lawannya mungkin mendalami muay thai atau capoeira. Pria itu mengangkat kedua tangan dan berputar di tempat sembari menghadap ke penonton, membuat Agni memutar mata. Jelas sekali, lawannya percaya diri.