Agni tak pernah berniat untuk terjun selamanya dalam dunia penuh risiko dan kejahatan seperti arena Palco Preto. Namun, dia sungguh butuh uang. Biaya sekolahnya memang dikover penuh oleh beasiswa, tetapi tidak dengan pengeluarannya sehari-hari dan sekolah itu memiliki kafetaria yang membanderol makanan juga minuman dengan harga tinggi. Agni bahkan berniat membeli roti dan susu dari minimarket agar bisa berhemat.
Semua perjalanan di Palco Preto bermula ketika dia tak sengaja bertemu dengan sekumpulan anak geng—remaja belasan tahun yang pura-pura hebat—kemudian menghajar mereka semua. Sepuluh orang, terkapar tak berdaya di aspal tengah malam dengan senjata yang patah atau hancur. Polisi menemukan mereka dalam keadaan masih pingsan dan video penangkapan diunggah oleh warga yang melintas. Pemandangan itu disiarkan keesokan harinya di televisi nasional dan Agni bersyukur wajahnya tersembunyi di balik hoodie dan poni panjang yang belum dipotong.
Namun, kabar itu rupanya sampai ke mafia setempat—perlente kaya raya yang suka menghamburkan uang dengan membangun arena pertarungan ilegal. Dia menyukai gaya bertarung Agni dan berkata sudah memperhatikannya beberapa hari terakhir, membuntutinya. Agni yang cemas kalau pria itu berbahaya dan bisa mengancam keselamatan keluarga bibinya, setuju untuk ikut tampil dalam perkelahian.
Ternyata, uangnya tidak buruk.
Tentu saja sang bibi suka bertanya soal luka-luka di wajahnya, tetapi Agni mudah mengelak menggunakan alasan dirinya masuk klub tinju. Semua berjalan lancar dan membuat Agni bisa mendapatkan jutaan rupiah yang masuk ke rekening tabungan rahasianya.
Selain itu, dia ingin mengeluarkan bibinya dari rumah dan suaminya. Entah benar atau salah, Agni berharap agar Tante Elina dan Om Bima berpisah karena kakak ibunya itu terlalu baik dan berhak bebas dari cengkeraman suami yang selama ini hanya menjadi lintah. Agni bertekad membawa ibu dan bibinya ikut serta keluar negeri agar keduanya mendapat kehidupan yang tenang dan lebih baik. Itu artinya, dia harus bekerja keras untuk mempersiapkan hal-hal yang akan dibutuhkan—tempat tinggal layak dan tabungan—sampai dirinya mendapat pekerjaan besar.
Agni menatap ke langit yang berubah gelap dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Tujuan hidup yang melintas di dalam benaknya itulah yang selama ini mendorong dia untuk bertahan dalam situasi seberat apa pun. Termasuk tinggal serumah dengan sepupu yang berusaha memperkosanya.
***
“Biar aku saja, Tante.”
Agni bergegas mengambil wadah beras dari tangan bibinya yang tampak kelelahan di dapur. Perempuan dengan rambut menjuntai di belakang punggung itu tersenyum saat si keponakan dengan sigap membersihkan bulir-bulir beras kemudian menakar air dan memasukkannya ke penanak nasi.
“Tante mau masak apa? Biar Agni yang bikin. Tante istirahat saja.”
“Kamu sudah capek sekolah, Nduk. Masa’ masih mau masak juga?”
“Sekolah cuma duduk dan belajar kok,” sahut Agni, melirik ke papan potong. Bahan-bahan masakan tertata di keranjang bambu yang bertengger di dekat wastafel. “Masak telur balado sama bening bayam? Biar Agni yang kerjakan.” Cewek itu menggulung lengan kaus dan mulai mengambil beberapa butir telur.
“Biar Tante bantu. Lebih cepat selesai kalau dikerjakan berdua, kan?”
Agni tersenyum dan menaruh telur-telur yang sudah dibilas air ke dalam panci. Dia meletakkan benda itu di atas kompor dan menyalakan api. Lalu bergerak lagi untuk membersihkan cabai sementara sang bibi mulai membersihkan helai-helai daun bayam.
“Erika pasti bangga punya anak seperti kamu.”