“Ini serius. Aku harus ajak kamu ke klub atau Sabeom bakal marah besar.”
Agni tidak peduli dan terus menjejalkan buku-buku yang tidak ada di jadwal ke dalam loker—salah satu fasilitas yang jarang ada di sekolah lain dan Agni lumayan menyukainya.
“Aku tahu kalau kamu masuk sekolah ini karena rekomendasi taekwondo, loh.”
Terus aku harus bilang wow gitu? batin Agni, merasa jengkel. Terlebih saat menyadari kalau cewek-cewek memandangnya dengan tatapan aneh. Iri, cemburu.
“Bisa minggir nggak?” ketus Agni sambil mengembuskan napas, kesal. Cowok di depannya tidak mau menyingkir dari tadi dan terus menerus mengekor Agni sejak gadis itu tiba di gerbang.
“Kamu cukup bilang bakal hadir di gymnasium siang ini dan aku bakal menyingkir dengan senang hati. Itu saja.”
Agni benar-benar marah melihat bagaimana Raka memandangnya seolah dia ini permainan. Cowok itu lebih tinggi dan membuat Agni harus mendongak saat menatapnya. Senyum Raka tampak jenaka, seolah tidak punya beban hidup. Mata Agni memindai perlahan. Pakaiannya disetrika rapi dan tercium aroma pelembut pakaian. Agni mengenali Audemar Piguet di pergelangan tangan cowok itu, juga LeBron yang terlihat mencolok di kakinya.
Dasar anak orang kaya, maki Agni. Dia menabrak bahu Raka dengan kasar dan berjalan begitu saja, tidak peduli kalau pemuda itu masih membuntuti.
“Apa kamu tahu kalau tidak ikut klub bisa berpengaruh pada beasiswamu?”
Langkah Agni terhenti dan cewek itu berpaling. “Apa maksudnya itu?”
Senyum kemenangan terbit di bibir Raka. “Loh, masa’ kamu nggak tahu? Kalau kamu masuk ke sini dengan kemampuan bela diri, kamu harus ikut klub sebagai extracredit. Mengharumkan nama sekolah, bikin prestasi tambahan, beasiswa lancar. Ngerti, kan?”
Kacrut! pekik Agni dalam hati. Bagaimana dia bisa lupa detail penting itu?
“Jadi,” lanjut Raka sambil mengeluarkan kertas yang dilipat dari saku kemeja, “kamu harus isi formulir ini, datang ke gym nanti siang, dan setor latihan ke Sabeom Irwan. Batasnya cuma sampai hari ini. Kalau kamu ngotot nggak mau, aku terpaksa lapor ke pembina dan wali kelas ... dan ... kita sama-sama yakin nggak mau hal itu terjadi. Iya?”
Agni meremas kertas itu dengan gemas saat Raka melenggang seperti juara. Dia menjejalkan kertas itu ke dalam tas dan baru melangkah saat siswa berbadan gemuk buru-buru melewatinya.
“Ah, maaf!”
Agni baru akan menyemprot saat melihat wajah si penabrak. Wajah lesu berminyak dengan kacamata model zaman dulu—bulat, lensa dengan gagang perak—itu memandang dengan tatapan minta maaf. Saat dia melenggang di dekat Agni, gadis itu bisa melihat beberapa memar di tangan bahkan lehernya.
Itu cowok yang dihajar di tangga kemarin.
***
Agni bersyukur karena selalu menyimpan setelan joging yang masih bersih di dalam loker. Dia juga lega karena hari itu tidak ada jadwal di arena sehingga tak perlu cemas kehilangan uang.
Setelah membereskan buku-buku, Agni melintas di halaman sekolah menuju ke ruang olahraga yang biasa dipakai ketika hari hujan atau saat ada acara khusus seperti perpisahan sekolah, pertunjukan seni, dan lainnya. Agni bisa mendengar suara riuh rendah saat mengintip dari balik double door yang sedikit terbuka.
Entah kenapa, cewek itu merasa gugup sampai keringat dingin meluncur mulus dari kening ke pipi. Dia mengusapnya, menegakkan punggung, dan menarik napas panjang. Apa yang dia takutkan? Palco Preto mungkin sepuluh kali lebih brutal daripada klub taekwondo SMA.
“AW!”