Selena menyalakan pendingin ruangan setelah melepas seragam sekolah kemudian masuk ke kamar mandi. Dia menyalakan keran air panas dan menunggu sampai bath tub terisi sebelum menuang minyak mandi beraroma mawar ke dalamnya. Gadis itu mengembuskan napas, nyaman ketika membenamkan tubuh di sana dan menyandarkan kepala pada sisi bath tub berlapis handuk. Tubuhnya terasa lelah, begitu juga pikirannya.
Kejadian di klub membuatnya cemas karena belum pernah terjadi sebelumnya. Selama ini, klub taekwondo menjadi salah satu klub kebanggaan sekolah. Banyak murid yang berusaha masuk ke SMA Gempita Surya karena beasiswa olahraga. Banyak alumni yang terjun menjadi atlet profesional dari sekolah tersebut. Bahkan, ada dua alumni yang dipilih untuk mengikuti akademi pemeran pengganti kemudian menjadi stuntuman Hollywood setelah lulus. Tidak heran jika sekolah itu menjadi buruan bagi para pencinta bela diri juga film aksi.
Termasuk Raka meski mungkin tujuannya agak berbeda. Raka ingin menjadi atlet atau pelatih. Minatnya mungkin sedikit ada pada dunia film, tetapi tak sebesar anak-anak lain. Cowok itu menonjol, tetapi lebih suka tidak menjadi pusat perhatian—walau Selena menganggap hal tersebut nyaris mustahil karena temannya itu begitu menarik.
Raka Palamatra memang cowok tegas, lincah, berdedikasi, teguh, dan cerdas. Namun, sangat payah membaca perasaan seseorang. Pemuda itu hanya fokus pada taekwondo, seolah tak peduli hal lain. Dan bagi cowok tersebut, Selena hanya manajer klub. Anggota, seperti teman-teman lainnya.
Raka tidak bergabung dengan OSIS atau klub musik sehingga dirinya tak sepopuler Brian atau Anwar. Namun, sejak pertama melihat cowok itu berlari di lapangan jam enam pagi, Selena jatuh hati. Dia belum pernah melihat seseorang yang begitu berbakat juga demikian sungguh-sungguh. Raka tidak pernah main-main dengan tujuannya. Pemuda itu seolah sudah tahu apa yang akan dia ingin capai di masa depan.
Sayangnya, sikap keren itu juga menjauhkan Selena dari bagian hidup Raka. Cowok itu jelas tidak mau menjalin hubungan macam pacaran karena sudah menolak beberapa siswi yang menyatakan perasaan padanya. Melihat kejadian itu, Selena bungkam. Dia tidak mau hubungannya dengan Raka menjadi canggung atau aneh. Raka mungkin masih bisa menganggapnya teman setelah menolak cewek, tetapi Selena tidak punya muka untuk berada di samping pemuda itu setelah ditepis. Jadi ... Selena merahasiakan perasaannya selama ini.
“Non.”
Mata Selena terbuka dan tanpa sadar, gadis itu berdecak kesal. Dia meraih jubah mandi dari nakas dan segera keluar dari bak. Tanpa minat, dia membuka pintu kamar dan menemukan salah satu asisten rumah tangganya berada di depan sana, menunduk dalam kaus dan celana panjang katun.
“Ya?”
“Papanya Non sudah pulang,” ujar perempuan berusia empat puluhan itu dengan suara bergetar.
Bahu Selena memerosot. “Makasih, Bi,” ujarnya kemudian mengawasi si asisten turun tangga dengan pundak gemetar.
Kepulangan tuan besar di rumah itu tidak pernah terasa menyenangkan bahkan bagi Selena. Rumah menjadi sesak, membuat dia sulit bernapas. Semua orang menjadi tegang, takut, seolah semangat mereka diisap oleh empunya rumah. Selena bahkan menjuluki ayahnya dengan sebutan Dementor—karena mengisap kebahagiaan dan kesenangan di tempat itu.
Selena meraih handuk kecil dan mulai menggosok rambutnya yang basah. Kemudian, dia mengeringkan dengan hair dryer, menata rapi sampai tidak ada helai yang mencuat keluar. Selena mengeringkan tubuh kemudian mengambil gaun katun dengan panjang menutupi betis. Dia memakai bedak tabur tipis-tipis kemudian memandang bayangan di cermin. Tangan cewek itu mencengkeram sisir, erat sampai jari-jarinya memutih.
Saat turun ke ruang makan, Selena melihat kedua orang tuanya sudah duduk di hadapan makanan. Suasananya hening seperti kota mati. Tidak ada asisten rumah tangga yang berani mengobrol. Bahkan, suara penjaga rumah yang biasanya penuh tawa saat mengobrol dengan tukang kebun, tak terdengar. Padahal, saat ayahnya tidak ada, ibu Selena gemar berbincang dengan para asisten dan bercanda dengan si tukang kebun yang lucu dan punya logat Kebumen kental itu. Sekarang, ibu Selena duduk tegak di salah satu kursi dan terlihat beberapa kali menelan ludah.
Selena memandang meja makan yang ditata tanpa cela—bunga mawar dari taman pribadi dalam vas kaca, masakan khas Solo yang masih mengepulkan uap, peralatan makan diatur rapi di sisi piring-piring keramik. Selena menarik napas panjang dan menarik kursi di seberang ibunya. Punggungnya tegak dan mata lebar itu menatap sang mama yang juga tidak terlihat berselera makan.
“Mari makan,” ujar papa Selena—Darys—sembari mendorong piring ke arah istrinya—Amelia.
Selena melihat ibunya menyendok nasi dua kali, meletakkan piring itu di depan sang suami. Kemudian, meletakkan seporsi sayur dalam mangkuk, menaruh lauk di atas piring, kemudian menuang air ke gelas tinggi. Setelah Darys mulai makan, barulah Selena menyendok jatahnya sendiri.