“Hari ini agak telat, ya?”
Agni berpaling dan merasa janggal karena sapaan itu datang dari perawat yang sebelumnya begitu tak acuh—Tia. Wanita berusia tiga puluhan awal itu memiliki perangai buruk yang selalu membuat Agni cemas. Raut Tia sering masam, kata-katanya tak ramah. Dia juga jarang menyapa para pengunjung yang menengok pasien di rumah perawatan ini. Jadi, kenapa mendadak perawat berambut pendek itu mendatangi Agni di meja resepsionis?
“Hm, ya. Ada ... sedikit kendala tadi,” sahut Agni tak berminat dan menandatangani kolom paraf di tabel pengunjung. Dia menyerahkan kembali kertas yang terjepit di papan itu kepada petugas dalam seragam biru tua yang kemudian mengetik sesuatu di komputer.
“Apa ibumu mulai mengenalimu?”
Agni mengernyit tak suka. Perubahan Tia terasa ... mencurigakan. “Kenapa tanya-tanya?” tanya gadis itu, berhenti di lorong rumah sakit. Mengapa dia mendadak peduli pada ibuku?
Tia mematung di tempatnya, memeluk map plastik dan terlihat gugup. Perempuan itu baru akan bicara ketika Agni melambai. Tia berpaling dan mendapati Rahma, salah satu rekan sejawat yang kini menghampiri Agni.
“Tumben jam segini baru datang,” ujar Rahma, membetulkan letak kerudung.
Agni tersenyum, lega karena kini bertemu dengan perawat favoritnya. “Ada sedikit urusan,” sahut remaja itu sambil menyingkirkan anak rambut dari pelipis. “Mau mengantarku ke tempat Mama?”
Agni melirik dari bahu dan bisa melihat wajah cemberut Tia—ekspresi normalnya. Gadis itu menunggu sampai mereka berbelok di tikungan koridor lalu menghela napas.
“Ada yang salah?” tanya Rahma sambil mengetik sesuatu di ponsel, lalu menoleh kepada Agni.
“Teman Mbak Rahma kok aneh hari ini.”
“Tia? Kenapa? Cari masalah lagi?” Rahma terkekeh.
Agni tertawa. Masalah yang dimaksud itu sikap judesnya dan terkadang memancing pengunjung untuk menanggapi. Pernah sekali, Agni adu mulut gara-gara Tia berkata ketus kepada kakek dari seorang pasien. Si kakek yang pendengarannya sudah menurun itu, meminta Tia mengulang penjelasan soal infus cucunya yang berbaring lemas di ranjang. Suara Tia yang bernada marah itu terdengar di koridor saat Agni melintas dan terang saja, melihat si perawat membentak-bentak orang yang sudah sepuh, membuatnya naik pitam. Menurut Agni, perawat bermuka jutek itu tak cocok jadi perawat meski kemampuan akademisnya memang bagus.
“Dia tiba-tiba ramah banget. Kesambet kali, ya?” Agni memasukkan kedua tangan di saku jaket sementara Rahma menyimpan ponselnya di kantong celana.
“Itu memang aneh, sih,” kata Rahma, terkekeh. “Mungkin dia dapat teguran dari Pak Ridwan. Akhir-akhir ini, rumah perawatan didatangi beberapa orang penting. Mereka mungkin saja melakukan evaluasi termasuk menggelar survei atau sejenisnya. Mungkin penilaian karakter karyawan juga menjadi salah satunya.”
Agni merasa alasan itu masuk akal meski tetap merasa janggal. Dia mengembuskan napas ketika akhirnya berhenti di depan pintu salah satu kamar. Pintu berwarna putih itu berhadapan dengan jendela rumah perawatan yang besar, mengantar cahaya matahari sore yang hangat serta menenangkan.
“Oh,” ujar Agni tertahan saat membuka pintu. “Ada bunga lagi?” bisik gadis itu ketika mengintip dari celah. Dia mendapati sebuket bunga aster kuning di dalam vas.
“Ada yang mengantar bunga lagi tadi siang. Untuk ibumu.”
Alis Agni bertaut. “Siapa?”
Rahma mengangkat bahu, mengeluarkan ponsel pintarnya yang berdenting. “Sepertinya mereka memakai kurir pribadi. Kami nggak dapat info pengirim, hanya identitas penerima. Mungkin dari donatur atau relawan. Beberapa pasien lain juga dapat. Kadang-kadang komunitas memang mengirim barang atau bunga untuk menghibur penghuni di sini. Eh, aku pergi dulu, ya. Ada panggilan di sayap barat.”
Agni mengawasi ketika perawat itu menderap di koridor lalu berbelok. Agni membuka pintu lebih lebar dan mendapati sang mama sedang duduk menghadap jendela bersekat kayu dalam warna gelap. Tenang dan tak menoleh sama sekali ketika Agni mendekat.
Gadis itu menaruh ransel di atas kursi logam tanpa leher lalu mendekat perlahan. Dia sempat melirik ke vas dan merasa penasaran. Ini sudah keempat kalinya dalam sebulan. Setiap minggu, ada yang mengirim bunga. Aneh, sebab jika itu dari tantenya, pasti Agni diberi tahu. Ibunya juga tak memiliki kerabat dekat atau sahabat sebab keberadaannya di bangsal jiwa ini dirahasiakan.
Siapa yang kira-kira tahu keadaan Erika—ibu Agni—selain dirinya dan keluarga Tante Elina?
“Ma, aku datang lagi, nih.” Agni mendekat pada ibunya, mengecup lembut puncak kepala wanita berusia empat puluhan itu kemudian merangkulnya erat. Samar-samar, tercium aroma sampo yang Agni tahu, dibelikan olehnya minggu lalu.
Diam-diam, Agni bersyukur karena ibunya diperhatikan oleh Rahma. Perawat satu itu biasa menyimpan barang-barang pemberian Agni dan menggunakannya untuk kepentingan Erika. Telaten dan sabar, Agni pernah melihat Rahma dengan lembut mengoleskan losion pemberiannya di sepanjang tangan sang pasien. Maka, hanya kepada Rahma, gadis itu membuka diri.
Tidak ada tanggapan dari Erika yang duduk dengan mata menerawang ke jendela. Kedua tangannya terlipat rapi di pangkuan dengan rambut panjang tersisir yang menebarkan wangi sampo. Perawat memakaikannya gaun katun berwarna biru dengan corak bunga-bunga, serasi dengan kulit kuning langsat yang membalut tubuh kurus wanita itu.
Agni tersenyum dan mengelus pelan bahu ibunya. Dia keluar dari kamar selama beberapa saat dan kembali dengan dua cangkir teh di tangan. Rutinitas biasa yang dia lewati di sore hari. Hanya memandang langit di kejauhan, menunggunya berubah jingga keemasan sembari menyesap teh melati hitam.
Erika memang tidak bereaksi banyak kecuali menerima cangkir keramik itu dengan pelan kemudian minum perlahan-lahan sampai anaknya mengembalikan benda itu ke pos perawat, mengecupnya beberapa kali, lalu pulang.