Underground Fire

kimchiroll
Chapter #9

9. Gengsi

Agni menimang-nimang dua batang cokelat ukuran dua belas potong, sebungkus keripik, dan satu stoples sosis di meja belajarnya. Mukanya bersemburat merah dan berulang kali dia menarik napas, seolah sedang memandang objek eksperimen memusingkan. Berkali-kali dia menggaruk kepala sebelum tangan itu beralih ke pinggang, lalu ke kepala lagi. Seharusnya, dia tidak perlu dibikin puyeng oleh makanan sarat gula dan kalori ini.

Namun, bagi Agni, hal ini memang bikin pusing.

Kemarin, gadis itu bercerita soal pertengkarannya dengan anak-anak klub. Pupus harapan bakal dihibur, sang tante justru mengomelinya habis-habisan. Satu tarikan di telinga—meski membuat hati Agni hangat—menunjukkan kalau perlakuan cewek itu salah total. Baru pertama kali, Agni melihat tantenya kesal dan melancarkan gerutu. Suaranya yang biasa halus, terdengar begitu gusar.

“Kamu jangan angkuh hanya karena punya kemampuan seperti itu, Agni. Mereka sepertinya anak-anak yang baik. Kamulah yang memancing mereka menjadi seperti itu.”

Begitu kata Tante Elina, dengan kedua tangan terlipat di dada. Lama, Agni memikirkan ucapan tantenya dalam perjalanan pulang. Tante Elina berpesan, Agni harus berbaikan dengan teman-teman klubnya kalau masih ingin berkunjung ke rumah perawatan. Ancaman serius sebab tantenya tak tersenyum ketika mengatakan itu.

Agni tak ingin kehilangan momen bersama orang terkasihnya lagi. Jadi, dia berusaha berkompromi. Sebelum pulang ke rumah, gadis itu mampir ke toserba dan memilih barang. Hasilnya payah karena dia belum pernah punya teman sebelumnya dan tidak tahu bagaimana cara menunjukkan kesungguhan hati untuk meminta maaf. Jadi, dia pikir, makanan adalah opsi mudah dan tak mengeluarkan banyak biaya. Kasual dan tidak sentimental, begitu pikirnya. Bunga bisa memberi kesan berlebihan dan terlalu mencolok. Agni hanya berniat minta maaf karena desakan tantenya, bukan hal lain. Maka, dia tak mau terlalu direpotkan—tapi ibunya tak perlu tahu soal ini.

“Ugh,” desah Agni, memasukkan camilan itu ke kantong kanvas berkancing magnet dan membuka pintu kamar. Dia mengunci pintunya seperti biasa dan mendengkus.

Suasana rumah lengang karena Tante Elina masuk sif malam dan baru akan pulang jam tujuh nanti. Terdengar dengkuran Om Bima dari salah satu kamar—berisik dan mengganggu—sementara tidak ada tanda-tanda keberadaan Herman. Agni menghela napas lega dan bergegas berangkat. Tidak bertemu dua orang itu adalah caranya memulai pagi dengan baik.

***

“Lagi-lagi kayak gitu.”

“Penampilan doang kayak tuan putri. Aslinya masokis.”

“Doyannya main cambuk-cambukan, tampar-tamparan. Hihi.”

“Udah kayak tokoh novel mesum aja.”

Alis Agni bertaut dengan. Dia menoleh ke asal suara dengan ekspresi jijik, mendapati dua cewek yang menenteng tas dengan logo huruf C terkait dan muka dipulas tata rias tebal, cekikikan sembari menunjuk betis seorang siswi di depan mereka. Sebuah plester luka menyembul dari kaus kaki yang menutup nyaris sampai ke lutut. Tak hanya itu, ada plester luka lain di siku dan lengannya.

“Pagi-pagi udah berisik! Polusi suara, tahu nggak?” bentak Agni kesal.

Kedua cewek itu tersentak kaget dan berpaling ke Agni yang balas memelotot marah.

“APA? SINI KALAU BERANI!”

Sadar Agni memasang tinju di depan dada, kedua siswi itu kabur sambil mengoceh kesal.

Keributan itu membuat cewek di depannya menoleh. Agni terkesiap karena siswi itu ternyata Selena. Lebih kaget lagi karena mendapati mata si primadona sekolah terlihat sembap. Sebuah plester luka menempel di pipinya. Jelas, ada yang tidak beres dengan penampilan Selena—dan bukan untuk khayalan mesum seperti dua siswi centil tadi.

“Kamu,” tukas Selena pendek. “Jangan lupa minta maaf sama Pritta.”

Agni tak sempat menyahut ketika Selena membalikkan badan lalu bergegas menuju kelasnya.

***

Sepanjang pelajaran, Agni sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Luka yang ada di lengan dan betis Selena serta ekspresi gadis itu, tak menghilang sampai pelajaran terakhir selesai. Agni merasa Raka tahu penyebabnya, tetapi dia terlalu gengsi untuk bertanya terlebih setelah kejadian tempo hari. Bisa-bisa cowok itu mengira Agni luluh dan mau berteman dengan mereka.

“Aah!” Agni menjerit frustrasi sambil mengacak rambutnya ketika menyusuri koridor. Dia menuju toilet perempuan, berniat mengganti pakaian. Namun, rencananya batal saat melihat Selena berdiri di depan cermin wastafel. Kaus kakinya memerosot sampai ke tumit, memperlihatkan bekas luka di sepanjang betis yang terlihat menyakitkan. Luka sayatan atau sejenisnya, Agni yakin. Bisa berasal dari alat cambuk atau ikat pinggang kulit.

Agni tahu karena Om Bima sering menghukumnya seperti itu saat dia masih kecil.

Selena balik menatap Agni, terkejut setengah mati sebelum menarik kaus kaki sampai ke betis dan memelesat pergi. Agni nyaris tersungkur ketika Selena menabraknya dan tertegun di tempat selama beberapa saat sebelum akhirnya mengejar gadis itu.

Agni mengira Selena akan pulang. Namun, bukannya pergi ke gerbang sekolah, Selena justru berbelok ke bagian gedung olahraga lama yang kini dijadikan gudang penyimpanan. Rambutnya yang hitam legam dengan ujung bergelombang, berayun kencang saat gadis itu melompati pagar rusak. Jalan menuju ke gedung lama itu sepi dan dengan cuaca mendung, terasa menyeramkan. Ada beberapa pohon besar yang ditanam tukang kebun sekolah sejak beberapa tahun lalu dan kini dedaunannya bergemerisik, tertiup angin. Agni mengendap sepelan mungkin agar tidak terkesan membuntuti—meski memang begitu kenyataannya.

Lihat selengkapnya