Underground Fire

kimchiroll
Chapter #10

10. Gosip

Setelah pertemuan kecil di gedung lama, Agni menyadari kalau selama ini dia sudah berprasangka buruk kepada Selena.

Gadis itu populer, jelas. Sekaligus baik hati. Hampir setiap hari, setiap siswa membicarakannya. Misalnya, soal pengikut di akun Galgram yang mencapai hampir satu juta, ayahnya yang pejabat dan memiliki beberapa bisnis, ibunya yang mantan model tahun 80-an, juga prestasinya di sekolah.

Namun, bukan itu saja yang membuat rasa penasaran Agni tergelitik. Sejak obrolannya dengan Selena, cewek itu tidak merasa terlalu canggung lagi. Apalagi, Selena juga tak mendadak sok akrab atau bersikap seolah mereka kawan lama. Selena memang mulai sering menyapa saat mereka berpapasan di gerbang atau koridor, tapi sebatas itu. Dan jujur saja, Agni menghargainya.

Pada latihan berikutnya, Selena juga membantu Agni—secara tidak langsung—untuk minta maaf dengan layak kepada seluruh anggota klub. Ketika suasana berubah aneh karena Agni berusaha keras menampilkan wajah ramah di depan Prita—yang sudah bisa masuk sekolah meski belum mampu bergabung dengan rutinitas latihan—tiba-tiba Selena masuk dengan beberapa kotak piza. Setelah kegiatan klub selesai, kekakuan itu mencair dengan acara makan-makan, terlebih saat Selena bilang kalau piza-piza itu bentuk permintaan maaf dari Agni.

Awalnya, Agni sempat protes karena tidak mau dibantu apalagi merasa berutang budi. Namun, Selena berkilah dengan alasan, tak bisa membiarkan Agni memberikan keripik dan sosis siap makan. Setelah makan-makan, anak-anak mulai santai dan bersikap biasa. Setyo memang masih menjaga jarak dan tampak marah, tetapi tak berkata apa pun karena Pritta sudah menganggap masalah itu selesai. Dia bahkan tersenyum saat Pritta menjitak kepala Agni sebagai hukuman. Para anggota klub tertawa dan lega. Begitu juga dengan Agni—yang lagi-lagi bersyukur dan tak menyangka kalau anggota klub taekwondo punya pemikiran terbuka dan sikap ksatria.

Pemeran terbesar sebenarnya tentu saja Selena. Gadis itu punya inisiatif dan kepekaan yang tidak dimiliki Agni. Meski, tetap saja membuat cewek itu bingung karena Selena sungguh di luar dugaan. Entah bagaimana, model remaja itu terlihat polos sekaligus tak bisa dibantah di saat bersamaan. Selena tak mengenal Agni, jadi untuk apa bersusah-susah membantunya. Ya, kan?

“Orang baik hati tak perlu alasan saat dia membantu orang lain.”

Begitu kata Tante Elina ketika Agni membantunya membuat risoles untuk acara pengajian dan bercerita soal kejadian piza. Tampaknya, sang tante senang karena Agni manut dan mulai berbaur dengan teman-teman lainnya di klub.

“Kalau dia bisa bersikap seperti itu ke kamu, artinya dia anak yang baik, Nak.”

“Gimana kalau itu cuma topeng? Cuma buat cari perhatian? Pencitraan?” sergah Agni, sangsi.

“Perhatian siapa? Kalau dia ingin mendapat simpati dari banyak orang, semestinya dia melakukannya dengan lebih mencolok. Kalaupun dia ingin mendapat perhatian, tentunya dia mau perhatian kamu, Ni.”

Agni tidak bisa membantah lagi karena ucapan tantenya terdengar masuk akal. Dirinya bukan siapa-siapa di sekolah. Bukan anak orang kaya, bukan murid supercantik, tidak populer—kecuali karena sikap cuek cenderung agresifnya—bukan pula kesayangan para guru. Jelasnya, tidak ada keuntungan yang bisa didapat Selena jika dekat-dekat dengan Agni. Malah, berlaku sebaliknya. Agni-lah yang bakal dapat benefit kalau berteman dengan anak orang kaya itu.

“Cobalah untuk melepas beban di hatimu dan buka sedikit dirimu, Nak. Izinkan dirimu mencicip kebahagiaan dari pertemanan.”

Agni ingat memandang mata si tante yang teduh ketika Tante Elina membelai lembut kepalanya. Meski bukan ibu kandung, gadis itu merasa jika adik ibunya selalu bisa memahami dirinya dengan baik. Selalu bisa membuka pikirannya sehingga dia masih bisa menghindari banyak hal buruk yang selama ini dekat dengan kesehariannya di arena.

“Kamu sudah sebesar ini. Apa kamu benar-benar nggak mau punya teman?”

Agni menunduk, memasukkan risoles yang sudah dibungkus plastik ke dalam kotak satu per satu. Dia mendesah panjang.

Ya. Sejujurnya, Agni memang ingin punya teman.

***

“Ya kayaknya sih dipukul cowok barunya. Gue denger dari Lala. Katanya, si Selena keluar dari hotel sama cowok tinggi gede. Kali aja tuh cewek ketahuan selingkuh. Kecengan dia kan banyak.”

Tangan Agni berhenti memasukkan buku ke dalam tas dan segera menangkap bisik-bisik yang kelewat keras itu. Dia menoleh ke kanan dengan kening mengernyit, menatap tiga cewek yang masih duduk di bangku mereka dan sibuk memoles muka dengan berbagai macam produk kecantikan. Salah satunya bahkan sedang mengoleskan cat kuku dan meniup-niupnya. Bau tajam nan menyengat menguar ke udara dan membuat Agni meringis kesal.

Mereka kira ini salon pribadi? batin Agni, jengkel dengan hidung mengerut.

“Lagaknya aja tomboi, tapi buka warung juga. Gue suka liat komen-komen cowok di Galgram dia,” kata cewek yang sedang mengoles liptint ke bibir dengan warna merah terang. “Pada komenin bodinya, dong.”

“Dan kata si Demian, dia ngeliat Selena bareng om-om gitu, loh. Minggu lalu, di Kemang. Masuk ke kafe mahal terus ngobrol akrab. Ntar gue kirim fotonya di grup. Nggak tahu malu banget. Demian dia tolak, eh malah jalan sama om-om,” timpal gadis lain yang sedang membentuk alis dengan pensil. Dia berdecak saat tangannya tersenggol.

“Anak pejabat, nggak jaminan kelakuannya bener, ya?” si cewek cat kuku terkikik.

“Kalo dia bareng om-om, jangan-jangan sugar baby, tuh?”

“Pantesa akun Tekotek-nya dikunci. Jangan-jangan dia BO di sana tuh!”

Agni menggigit bibir ketika lengkingan tawa mereka membahana di penjuru kelas. Dia berdiri dan menggeser bangkunya sekali sentak, membuat suara keras yang mengejutkan ketiganya juga beberapa siswa lain yang sedang piket. Agni mendongakkan dagu dan memasang ekspresi paling sinis yang dia bisa.

Lihat selengkapnya