Di ambang pintu ruang mawar, Bian menatap tajam seorang pria dewasa yang teramat dikenalinya. Dia telah terbaring tak berdaya dengan alat penyangga tulang di beberapa bagian tubuhnya.
Bian berdengus getir melihat sosok yang dulu sempat dekat. Begitu akrab. Berbaur saling mencurahkan isi hati. Percaya satu sama lain. Dia bahkan orang pertama yang akan muncul saat dibutuhkan. Lebih tepatnya seperti seorang kakak. Sayang, entah apa alasannya. Seiring berjalannya waktu. Pria itu sedikit demi sedikit berubah baik sikap maupun perangainya. Dia menjadi teramat asing dan justru sering bersitegang.
Bian mengepalkan tangan menyadari apa yang dikhawatirkannya kini nyata benar-benar terjadi. Mempertanyakan mengapa pria itu sampai berbuat hal seperti ini.
"Sudah kuduga."
Bian perlahan melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan. Lantas duduk di kursi tepat di samping ranjang seorang pria bernama Arsyad, berusia 28 tahun itu.
Bola mata Arsyad bergulir dan seketika mencelang menyadari seseorang kini telah duduk di sampingnya. Saking terkejutnya, Arsyad tanpa sadar menggerakkan tubuh yang telah dipasangi alat penyangga. Alhasil dia meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Terasa remuk redam.
Bian bersender di kursi, menyelonjorkan kedua kaki ke besi pinggiran ranjang. Kedua tangan bersedekap di depan dadanya. Seolah teramat sering baginya melihat hal seperti ini terjadi.
"Mengapa kau bisa ada di sini?” tanya Arsyad.
"Untuk menemuimu anjing," Bian menancapkan tatapan mematikan. Kata-kata kasar itu terlontar begitu saja dari mulut Bian. Tanpa ada sedikit pun rasa simpati atau iba melihat Arsyad yang tengah terluka parah. Padahal Arsyadlah orang yang dulu kerap menolong kesusahannya.
"Apakah bapak yang menyuruhmu datang kemari?" tanya Arsyad lagi.
"Untuk kepentingan apa dia menyuruhku kemari."
Arsyad menarik sudut bibir mendengar jawaban sinis Bian yang sudah tak asing di telan telinganya.
"Mengapa kau bisa berpikir pria itu mengirimku kemari?" Bian menatap tajam Arsyad. Laiknya seorang musuh bebuyutan yang sudah sering berhadapan.
"Karena kau tidak mungkin tiba-tiba datang kesini tanpa perintahnya," jawab Arsyad.
"Kau seharusnya sudah tahu. Mustahil dia menyuruhku kesini untuk melihatmu," ketus Bian.
"Lalu angin apa yang membawamu kemari?" tanya Arsyad penasaran.
"Aku hanya penasaran akan satu hal, tentang satu kecelakaan yang terjadi tadi malam. Dan hanya kau yang bisa menjawab rasa penasaranku ini," ujar Bian.
Kening Arsyad mengerut. Berpikir keras dan cukup dibuat terkejut.
"Rupanya bocah ini melihat dan mengetahui kecelakaan yang menimpaku tadi malam. Tapi tunggu. Bagaimana dia bisa tahu, kalau aku di rawat di rumah sakit ini."
"Masa iya bapak yang memberitahunya. Ah rasanya tak mungkin. Itu sangatlah mustahil. Bapak sendiri pun. Aku yakin tidak tahu dan tidak akan mencari tahu ihwal kecelakaanku ini. Lantas bagaimana dan dari siapa dia tahu?" gumam Arsyad dalam hati.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Arsyad.
"Itu bukan urusanmu. Sekarang kau cukup jawab pertanyaanku saja. Bagaimana kecelakaan ini bisa terjadi?" tanya Bian.
"Melihat kau ada di sini. Tanpa terduga. Aku yakin saat ini kau pasti sudah tahu mengapa kecelakaan ini terjadi, bukan," jawab Arsyad tenang.
"Cepat katakan," ujar Bian.
"Aku mengerem mendadak karena kelelahan," tambah Arsyad.
Cih. Bian mendengus.
"Kelelahan. Kau pikir aku akan percaya dengan alasan itu."