Lembayung jingga berkibar di ufuk barat. Satu demi satu para pelayat memeluk dan meninggalkan Kirana, yang masih mematung di samping makam keluarganya. Kirana menoleh sebentar pada Bi Siti yang setia menemani.
“Bi bisa tinggalkan Kirana sendiri," pintanya.
“Tapi ini sudah sore non," Bi Siti merengkuh pundak Kirana. Bi Siti tak tega melihat kedua mata Kirana yang sembab.
“Sebentar saja kok Bi," Kirana memberikan anggukan kecil pada Bi Siti untuk memastikan keadaannya baik-baik saja.
Bi Siti paham apa yang Kirana rasakan. Kirana pasti ingin berada di samping makam keluarganya. Tapi Bi Siti juga khawatir, jika harus meninggalkannya sendirian.
“Baiklah, tapi hanya sebentar ya non. Bibi tunggu di luar," ujarnya.
“Iya Bi," Kirana mengangguk.
Bi Siti menatap sebentar Kirana. Sebelum akhirnya meninggalkannya dengan langkah ragu. Sesekali Bi Siti berbalik untuk memastikan, apakah Kirana masih duduk di samping makam. Lantas melanjutkan langkah, saat Kirana menatap nanar padanya.
Setelah raga Bi Siti menghilang di balik pepohonan. Kirana kembali menatap batu nisan. Di temani kesunyian yang menyelusup rongga telinga. Desiran angin sesekali terdengar berembus disekitaran makam. Suasana khas pemakaman memang selalu memberikan kesan hening dan hampa. Meski cahaya senja menyinari seluruh area pemakaman yang luas ini. Tak mampu menghangatkan sisi dinginnya.
Kirana sendirian, tidak takut sama sekali. Rasa takut akan sosok-sosok makhluk astral yang menyeramkan itu, seketika menghilang dari hatinya. Keberadaan raga keluarganya disana membuatnya kuat dan tak merasa takut lagi. Justru rasa takut akan hidup sendirian, kini lebih besar menyelimuti hatinya, daripada rasa takut akan hawa mistis pemakaman.
"Kenapa kalian pergi tanpa Kirana," gumam Kirana lirih.
Bibirnya bergetar disertai air mata yang mengucur deras dari kedua matanya.
“Bagaimana Kirana hidup sendiri tanpa mamah, ayah dan Kinan," ujarnya terbata.
Kirana memeluk erat kayu nisan. Seakan-akan yang dipeluk itu adalah raga mamahnya. Kirana mencengkeram kuat dada yang terasa sakit. Rasa sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Semua duka, semua luka, semua rasa sakit di dunia. Tak ada yang sebanding dengan rasa sakit yang dialaminya saat itu. Duka yang membuatnya ingin menyerah dan ikut mati bersama keluarganya. Hanya saja imannya pada Tuhan menguatkan Kirana untuk bertahan. Karena apa pun bentuk perbuatan menyakiti diri sendiri adalah hal yang paling di benci oleh Tuhan.
Kirana meraung dan menangis sejadi-jadinya untuk mengurangi rasa sakit. Begitu kenangan bersama keluarganya terngiang-ngiang di kepala. Kejahilannya pada Kinan. Sikap cengengnya pada mamah. Serta sikap manjanya kepada ayah yang selalu membuatnya kesal. Berputar-putar di benak.
Seandainya waktu bisa diulang. Kirana pasti akan menjaga sikap untuk lebih menyayangi adik kecilnya, lebih mandiri untuk meringankan pekerjaan rumah mamah dan lebih perhatian pada ayah yang bekerja keras menghidupi keluarga.
Pepatah mengatakan, penyesalan selalu datang belakangan. Benar, ketika semua orang pergi meninggalkan, barulah teringat akan semua kesalahan. Sebaliknya, saat mereka masih hidup dan sehat. Kita biasanya selalu menunda-nunda berbuat baik dan berbakti pada mereka. Padahal ketika takdir memutuskan untuk mengambil mereka lebih cepat. Kita tidak akan pernah siap dan baru tersadar selama ini kita belum bisa membahagiakan orang yang kita sayang.