Unexpected

Yeni fitriyani
Chapter #14

Sebatang Kara

Pukul 05:00 

Bian membuka mata dan meregangkan tubuhnya di atas sofa empuk. Dia melangkah dan berjongkok di samping tempat tidur Kirana. Sambil menopang dagu, Bian melihat wajah polos Kirana yang tertidur pulas. Seakan-akan tidak ada kesedihan berat yang menggerogoti hatinya. 

Bian tersenyum, tertegun melihat mata lentik Kirana yang terpejam. Seperti bidadari tak berdosa. Hanya dipenuhi cinta dan keceriaan. Seandainya saja tak ada duka. Senyum di bibirnya pasti merekah indah, laksana mawar di musim semi yang bermekaran. Bian mengelus pipi Kirana dengan hati-hati, supaya tidak membangunkannya.

"Aku akan menjagamu Kirana," ujar Bian pelan. 

Setelah beberapa saat memandangi wajah Kirana. Bian beranjak untuk mandi, Shalat dan berganti baju seragam. Lalu turun menemui Bi Siti yang sedang masak di dapur.

"Pagi Bi Siti."

Bi Siti melirik dan menghentikan aktivitas memotong bawang daunnya. 

"Eh, den Bian sudah bangun. Bagaimana non Kirana bisa tidur nyenyak?" 

"Nyenyak dong Bi. Kan ditemani sama orang ganteng," ujar Bian sambil meneguk satu gelas air putih yang ada di meja makan.

"Den Bian tidur di kamar non Kirana?" Bi Siti mengerutkan kening penuh curiga.

Melihat raut wajah Bi Siti penuh kecurigaan itu. Bian memuncratkan air minum dimulutnya. Takut Bi Siti berpikir macam-macam tentangnya. 

"Iya Bi. Tapi Bian tidur di sofa kok." 

Bian menjawab cepat sampai batuk-batuk, karena tersedak air minum yang masuk ke rongga pernafasannya. 

"Iya bibi tahu. Semalam bibi cek ke atas. Kalian sudah tidur." 

Bi Siti tersenyum melihat ekspresi Bian yang ketakutan. Lantas melanjutkan kembali aktivitasnya.

"Oh begitu. Bikin deg-degan saja. Bian takut Bi Siti berpikir yang enggak-enggak," Bian mengusap air yang menetes di dagunya.

"Bibi percaya. Den Bian anak yang baik." 

"Tahu dari mana?. Bi Siti suka sok tahu."

"Bibi teh sudah tua. Sudah merasakan asam garam kehidupan. Sudah bertemu sama banyak orang. Jadi tahu mana orang baik yang tulus atau yang pura-pura baik," Bi Siti melirik Bian di sela aktivitasnya.

"Mantap Bi Siti," Bian mengacungkan jempolnya lagi.

"Eh Bi, Bian boleh tanya sesuatu enggak?"

"Boleh," Bi siti melirik pada Bian. 

"Keluarga Kirana yang lain ke mana?" 

Sebenarnya Kirana sempat bercerita sedikit tentang keluarganya di rumah sakit. Tapi Bian ingin memastikan detailnya dari Bi Siti. Bian benar-benar merasa bersalah jika semua yang dikatakannya benar. Bahwasanya Kirana kini hidup sendirian. 

Bi Siti menghentikan aktivitasnya. Kemudian duduk di meja makan tepat di depan Bian. 

"Bapak itu anak tunggal. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Kalau ibu itu anak sulung. Adiknya yang laki-laki meninggal pas masih muda, karena overdosis narkoba. Terus kedua orang tuanya juga sudah meninggal. Sementara saudara-saudaranya yang lain. Mereka tinggalnya jauh-jauh. Tak akan ada yang bisa diandalkan untuk menemaninya di sini. Sekarang non Kirana tinggal sebatang kara. Kasihan den," Bi Siti mengelus-ngelus dadanya sendiri. Bentuk empati Bi Siti merasakan kepedihan yang dirasakan Kirana.

Bian mengangguk dengan wajah lesu. Apa yang dia takuti ternyata benar adanya. Kirana kini benar-benar ditinggalkan seluruh keluarganya. 

"Kalau ayah Kirana kerja apa Bi?"

"Ayah non Kirana teh kerja sebagai direktur di bank. Terus sama kerja di Property. Tapi Bi Siti enggak mengerti bagian apa kalau disana," mata Bi Siti berputar mengingat-ingat.

"Ayah Kirana ternyata orang yang berpengaruh di bank itu. Itulah sebabnya pria brengsek itu melakukannya," gumam hati Bian. 

"Oh begitu. Bi Bian mau tanya lagi. Tapi enggak enak nanya nya."

"Sok mau tanya apa."

"Terus keadaan keuangan Kirana bagaimana setelah ini?"

Lihat selengkapnya