Unexpected

Yeni fitriyani
Chapter #21

Sisi Lainnya

"Kirana, hari ini kita pergi melihat pemandangan indah yuk." ajak Bian tiba-tiba.

"Tidak cukup melihatku yang indah ini," sahut Kirana yang tak kalah mengejutkan.

"Kamu itu bukan indah, tapi cantik."

"Pret."

"Maksudku pemandangan alam yang segar begitu."

"Tumben?"

"Aku ingin menjernihkan otak."

"Kamu habis menonton film porno?"

Bian melirik pada Kirana.

"Otakku lagi mumet. Bukannya lagi ngeres," Bian menggelengkan kepala.

Kirana terkekeh melihat ekspresi Bian. 

"Bagaimana kalau ke lembang," ujar Kirana.

"Ide bagus," Bian mengacungkan jempol. 

"Tapi kalau ke lembang matamu bisa tambah hijau nanti," celetuk Kirana. 

"Bukannya semakin hijau. Kamu semakin suka."

"Dih."

Kali ini Bian yang tertawa melihat ekspresi lucu Kirana. 

"Ya sudah kita lembang yuk."

"Hayu, Tapi kamu cerita kenapa ayahmu bisa marah kemarin."

"Iya, aku ceritakan sambil melihat pemandangan. Biar lebih santai," ujar Bian, 

"Beneran."

"Iya serius. Disana aku pasti cerita."

"Ya sudah ayo kita pergi," Kirana beranjak dari duduk dan berjalan meninggalkan Bian. 

"Eh tunggu kok aku di tinggalkan." 

Bian mengejar dan merangkul leher Kirana. "Kamu bawa jaket tebal enggak?" tambah Bian.

"Aku pakai jaket biasa."

"Ya sudah enggak apa-apa, nanti aku peluk kalau dingin."

"Rasakan dulu ini." Kirana menunjukkan kepalan tangan pada Bian.

"Usss, galak," Bian menyeret tangan Kirana untuk berjalan lebih cepat. Kirana pasrah mengikuti laju seretan Bian.

****

Setelah hampir tiga puluh menit, keduanya tiba di sebuah kedai kopi di daerah lembang. Kedai sederhana yang ada di pinggiran jalan. Menghadap tepat ke hamparan kebun teh yang hijau.

Kirana berdiri tegak kemudian menghirup udara segar dalam-dalam. Kepalanya sampai menengadah ke belakang. Sementara Bian membawa dua gelas kopi instan dan ketan bakar untuk menghangatkan tubuh. 

"Ayo masuk," ujar Bian. 

Kirana melirik dan masuk ke dalam kedai beratap jerami dan tidak berdinding ini. Pemandangan 360 derajat bisa terlihat dengan jelas dari dalam kedai. 

"Ini biar hangat," ujar Bian.

"Terima kasih."

"Peluknya nanti saja ya."

"Apaan sih Bian, benar mau merasakan ini," Kirana kembali menunjukkan kepalan tangannya lagi. 

"Bercanda."

Keadaan hening, mata keduanya menikmati pemandangan hijau sambil selonjoran di papan lesehan kedai. 

"Sekarang coba kamu jelaskan, kenapa ayahmu kemarin marah dan kenapa juga bibirmu bisa bengkak. Jangan bilang itu karena jatuh. Aku bukan anak kecil lagi. Yang percaya kebohongan seperti itu."

Bian menjilat sudut bibir dengan lidahnya. Kemudian melirik Kirana yang duduk di sampingnya. Yang sedang memandangi bibir yang dia jilat.

"Cepat katakan yang sejujurnya Bian."

"Iya aku akan jujur. Tapi sebelumnya aku ingin menunjukkan satu sisi burukku padamu hari ini?"

"Sisi buruk?" Kirana berkernyit hampir menciutkan seluruh wajahnya yang mungil.

"Boleh enggak?"

"Apa dulu. Bahaya enggak nih," Kirana mengesot menjauh dari Bian.

"Bisa berbahaya, tapi juga enggak," Bian mangut-mangut kecil.

"Ih Bian apa si. Aku jadi takut nih." 

Bian mengeluarkan satu bungkus roko dan pemantik api.

"Ini."

Kirana terkejut bukan main. "Kamu merokok?" Mata Kirana Melotot hampir keluar dari lubangnya.

"Hanya saat aku merasa mumet saja. Boleh tidak?"

"Tidak boleh." 

Lihat selengkapnya