Pagi itu, semenjak Kirana membuka mata. Dia merasakan debaran hebat di dada. Tepatnya seperti sebuah firasat, pertanda hal buruk akan terjadi. Hatinya tiba-tiba merasa gundah dan sendu. Meski tak ada hal yang membuatnya sedih sejauh ini.
"Duh perasaan apa ini," gumamnya sambil mengelus-ngelus dada.
Heeeep... huuuuh....
Kirana menghirup udara dalam-dalam, membuat diafragmanya terangkat dan mengembang sempurna. Lantas mengempis kembali, begitu udara itu dihembuskan lagi dari mulutnya. Beberapa kali Kirana lakukan, berharap kegelisahan itu akan lenyap bersama embusannya. Namun bukannya menghilang. Perasaan aneh ini justru terasa semakin dalam.
"Semoga enggak terjadi apa-apa," gumamnya dalam hati.
Kirana menggulirkan bola mata ke luar jendela. Terpikat pada langit biru dengan gerombolan awan putih yang berarak. Kirana duduk tenang, tidak terusik sama sekali dengan kegaduhan yang terjadi di dalam kelas. Jari jemarinya sibuk meremas satu sama lain di atas meja. Sebagai upayanya mengendalikan hati yang terasa bukan miliknya.
Perasaan yang tak bisa dijabarkan dengan kata. Hatinya seperti diselubungi oleh satu energi yang menggelitik. Tak nyaman tentunya. Tepatnya ada pijar gelisah yang menjalar, merambati organ lain, hingga benak meracau sendiri. Pikiran-pikiran aneh bahkan muncul sendiri, tanpa diingat-ingat, tanpa di perintah oleh sang pemilik kepala.
Sesekali Kirana menggelengkan kepala. Supaya seluruh imajinasi itu terberai. Tapi begitu ada jeda. Lagi-lagi imajinasi itu kembali memenuhi benaknya.
Di sela upaya Kirana mengenyahkan firasat buruk di hati. Tiba-tiba kelas mendadak menjadi sunyi. Keheningannyalah yang justru berhasil mengusik kesadaran Kirana yang sedari tadi mengembara entah ke mana. Kirana mengalihkan mata ke dalam kelas. Pak Anto dan seorang siswa baru telah berdiri di depan kelas dengan latar belakang papan tulis hitam pudar.
"Oh ada murid baru rupanya," gumam Kirana.
Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke belakang untuk melihat wajah siswa yang terhalang oleh tubuh tinggi pak Anto. Bak gayung bersambut. Siswa itu tiba-tiba maju selangkah. Menunjukkan diri dan langsung menancapkan tatapan bak meteor berekor yang menabrak inti bumi dengan dentuman maha dahsyat.
"Eh... eh," Kirana kaget.
Matanya mengerjap, begitu iris mata berwarna hijau milik siswa itu, kini berlabuh menatapnya.
"Bagaimana bisa, tatapan manusia memiliki aura tak kasat mata seperti itu. Bukankah tatapan itu milik para malaikat di surga," gumamnya dalam hati. Seakan-akan pernah melihat wujud nyata seorang malaikat dan pernah singgah ke surga.
Kirana menyipit, mengatur fokus mata untuk memastikan netranya. Ternyata benar, siswa itu memiliki manik hijau, sehijau air samudra Atlantik yang dalam dan berkilau. Dan tanpa sadar, pada sekat waktu yang lambat berdetak. Dua titik hitam mata mereka beradu menyentuh satu titik yang sama. Di sinilah kekuatan takdir mulai bekerja. Hanya dari satu tatapan mata. Kegundahan yang sedari tadi membelenggu hati Kirana, seakan menemukan obatnya. Kesenduan itu hilang. Tergantikan oleh gelitik hangat yang menyeruak ke sela-sela hatinya.
Tak sampai di situ, takdir rupanya melanjutkan alurnya. Pak Anto tiba-tiba meminta siswa baru itu untuk duduk di samping Kirana. Sebab bangku di sebelahnya kini tak bertuan. Di tinggal pergi pemilik lamanya.
"Kamu duduk sama Kirana," perintah pak Anto.
Jari telunjuk pak Anto seperti menekan kening Kirana dari jarak jauh. Otomatis mata Kirana terbeliak sambil menelan ludah dalam-dalam.
"Tidak apa-apa kan Kirana. Jangan panik begitu. Biasa saja," canda pak Anto.
Cie... cie...
Candaan pak Anto barusan, memicu kelas menjadi riuh. Ada yang berteriak iri, ada yang syok, ada yang bersiul, ada pula yang melet meledek Kirana. Sementara sang gadis tertegun, berpikir keras bagaimana menghadapi situasi tak terduga itu. Kirana bahkan sempat berpikir. Apa firasat buruk yang dirasakannya tadi adalah pertanda kalau hal aneh inilah yang akan terjadi.
Kirana menghela nafas panjang. Kelas biang kerok atau huru-hara ini semakin bergelegak. Seakan ada pertunjukkan teater yang sedang berlangsung di dalamnya. Padahal hari itu hanya kedatangan satu anak baru. Yang notabenenya sih tak biasa. Bahkan tergolong sangat istimewa. Pria rupawan dengan mata menawan.
"Hai," sapanya.
"Oh hah," lidah Kirana kelu.
"Kenalkan aku Neandro Sabian. Panggil Bian," ujarnya seraya mengulurkan tangan.
Kirana menelan ludah. Spontan mengelap telapak tangan ke permukaan rok abu-abu. Sebelum berjabat tangan dengannya.
"Kirana Maheswari, panggil saja Kirana," sahut Kirana tenang. Padahal dalam hati kacau balau.
"Boleh aku duduk?" tanyanya.
Bian tersenyum tipis melihat sorot mata intens Kirana padanya. Sorot mata yang sudah tidak asing lagi baginya. Hampir semua perempuan yang dia jumpai selalu melayangkan tatapan yang sama.
"Hem," Kirana mengangguk cepat.
Bian duduk, mengeluarkan alat tulis, mengaitkan tas di kursi. Kemudian menopang dagu dengan satu tangan di atas meja.
"Pindah dari sekolah mana?" tanya Kirana.
Kirana coba berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Kirana berusaha tersenyum senatural mungkin. Berharap pria di hadapannya itu tidak menyadari, kalau hatinya berdebar kencang. Tatkala dua iris mata hijau pria itu menatapnya.
"SMA Pelita. Tadi aku sudah bilang di depan. Kamu tidak memperhatikan ya," sahut Bian.
Bian yang awalnya tersenyum simpul. Sengaja merubah ekspresi wajah begitu kentara. Tanda kecewa. Mengetahui Kirana melewatkan perkenalannya di depan kelas tadi.
Melihat perubahan ekspresi wajah Bian. Kirana menggaruk kepala dan menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya. Khas orang bingung dan salah tingkah.
"Oh. Maaf, tadi aku sedang memperhatikan sesuatu di luar jendela," Kirana nyengir sambil menunjuk sembarang keluar jendela. Bola mata Bian mengikuti arah yang ditunjuk jari Kirana.
"Astaga,” sontak Kirana.
Kirana mundur hingga punggungnya mentok di senderan kursi. Sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya.
"Di luar tidak ada apa-apa ah,” ujar Bian.