Kirana mencengkeram erat pergelangan tangan yang membelit ketat pinggang seorang pria. Kedua kelopak matanya mengerut rapat tak bercelah. Keningnya tak berjarak, menempel lekat di punggung pria bermanik hijau itu. Saking takutnya.
Apa yang dikatakan Bian tidak main-main, nyata, bukan bualan semata. Dia mengendarai motor seperti orang kesetanan. Ban hitam itu melaju kencang membelah jalan. Membuat deru mesin motor ber-Cc besar itu menggema memekakkan telinga. Tak ayal banyak obrolan orang terjeda karenanya.
"Kamu jangan panik. Kita pastikan dulu kebenarannya," Bian menenangkan Kirana. Saat motor berhenti di sela lampu merah perempatan jalan.
Kirana membuka mata, mengedarkan mata ke sekeliling untuk mengetahui keberadaannya sekarang dan seberapa jauh lagi jarak dari rumah sakit.
"Iya, makanya aku langsung ke rumah sakit untuk memastikan."
Kirana mencari wajah Bian di kaca spion. Begitu pun sebaliknya. Hingga pada satu titik sudut pandang. Mereka bisa melihat satu sama lain.
"Stay calm OK," Bian menepuk lutut Kirana pelan.
Terkadang di kala hati sedang bimbang. Sentuhan ringan bisa sedikit menenangkan.
"Oke," ujar Kirana lemah.
Setelah beberapa menit berkendara. Mereka akhirnya tiba di parkiran rumah sakit.
"Kita sampai Kirana," Bian mematikan motor dan membuka helmnya.
Kirana turun dan memberikan helm.
"Terima kasih Bian," ucapnya, lantas putar badan hendak berlari meninggalkan pria baik yang tak mungkin tega hanya mengantarkan.
Bian tidak membiarkan Kirana pergi begitu saja. Bian menjerat tangan Kirana, membuat tubuhnya tersentak dan berbalik. Sehingga keduanya kembali berhadap-hadapan.
"Aku akan menemanimu."
Tatapan mata Bian membuat Kirana tak berkutik. Meski perasaan asing itu kembali. Lagi-lagi Kirana tak bisa menafikan maunya. Hingga akhirnya rela menunggu beberapa detik untuk pria ini.
"Ayo."
Bian kembali menjerat tangan Kirana dan berlari mendahului. Sementara Kirana pasrah melihat tangannya dicekal dan mau tak mau mengikuti Bian dari belakang. Keduanya berlari masuk ke dalam rumah sakit dan berhenti di depan meja resepsionis untuk menanyakan keabsahan kabar tersebut.
"Suster apa ada pasien korban kecelakaan atas nama bapak Wisnu Anggara. Saya Kirana anaknya," Kirana bertanya terbata, seperti ada sesuatu mencekat tenggorokannya.
Bola mata suster itu bergulir mengingat-ingat.
"Oh pak Wisnu Anggara," suster itu menemukan ingatan ihwal pertanyaan Kirana barusan.
"Sebentar ya mbak," tambahnya, lantas berlari memanggil seorang pria yang duduk tak jauh dari sana. Keduanya tampak berbincang sebentar. Sebelum pria itu melirik dan berjalan ke arah Kirana.
"Mbak Kirana?" tanya pria paruh baya yang mengenakan seragam coklat khas kepolisian. Tubuhnya tinggi besar dan perutnya sedikit buncit.
"Benar pak," Kirana mengangguk. Wajahnya berubah pasi didatangi sang polisi. Darah merahnya seakan terkuras habis oleh rasa cemas.
Polisi itu mengulurkan tangan untuk berjabat. "Saya Gundar, polisi yang tadi menghubungi mbak Kirana," ujarnya.
Kirana segera meraih jabatan tangan pak polisi itu.