Dirinya yang teramat asing,
melangkah jauh pada batas sewajarnya,
menapaki duniaku yang baru,
yang bagi diriku sendiri teramat getir, kelam dan pilu,
Ajaibnya dia tetap saja bersinar dan tak sungkan menyinari gelapku.
Suara Hati Kirana...
Bian tak melepaskan pandangan dari Kirana barang sedetikpun. Dengan sabar dia menunggu seorang gadis untuk membuka kedua matanya.
"Kamu pasti sangat ketakutan Kirana," ujar Bian seraya merapikan anak rambut di kening dan menggamit wajah Kirana.
Bian menghela nafas berat-menyadari tak ada yang bisa dia lakukan untuk menghilangkan kepedihan di hatinya. Bian sadar, yang sanggup dia lakukan hanyalah tetap disamping-Nya. Memastikan gadis ini tak merasa sendirian, ketika tersadar nanti.
Tiga puluh menit berlalu, Bian melihat kedua mata cantik Kirana akhirnya terbuka. Bian mencondongkan tubuh lebih dalam pada Kirana yang terbaring.
"Kirana," panggil Bian.
Kirana tak menjawab, hanya tersenyum melihat seorang pria bermata hijau sedang menggenggam erat tangannya. Kirana melihat dengan jelas, bola mata cerlang Bian bergulir ke sana kemari.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Bian cemas.
Kirana mengangguk pelan dan tertatih bangkit dari posisi tidur. Bian mengangkat bahu kirana dengan satu tangan teramat hati-hati. Satu tangan lainnya sibuk membenahi posisi bantal untuk menyenderkan tubuh Kirana dengan nyaman.
Bian duduk di tepian tempat tidur, melihat Kirana meringis sambil memijat pelipis kanannya.
"Pusing?"
"Hem."
Bian mengambil segelas air dari nakas dan menyodorkan gelas ke mulut Kirana.
"Minum dulu."
"Iya."
Air dingin yang mengalir di tenggorokan, seketika memulihkan kesadaran Kirana sepenuhnya. Dahi Kirana berkerut, bola matanya bergulir tak beraturan, mengingat-ingat kejadian terakhir, sebelum dirinya jatuh pingsan. Sementara itu, Bian menunggu reaksi Kirana dengan perasaan cemas. Bian bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Jika ingatan Kirana telah benar-benar kembali.
Baru saja kecemasan itu terukir di benaknya. Kirana yang baru saja terbangun dari pingsan. Tiba-tiba melejang dari tempat tidur, berjalan terhuyung-huyung tanpa arah keluar ruangan. Kirana menelusuri besi yang menempel di dinding, untuk menopang tubuhnya yang masih terasa lemas. Bian berlari mengejar dan berhasil menangkap tubuhnya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Bian cemas sambil menggamit tangan Kirana.
"Aku akan menemui keluargaku."
Kirana mendorong tubuh Bian yang menghalangi jalannya.
"Kamu masih pusing," Bian menghadang dan merangkul pundak Kirana.
"Dimana orang tuaku Bian?" Kirana kembali menghempaskan tangan Bian yang menjerat pundaknya.
"Kita bisa tanyakan nanti, jika tubuhmu sudah benar-benar pulih."
Kirana tak menghiraukan ucapan Bian. Dia tetap melangkah mantap melewati lorong panjang. Tanpa memedulikan tatapan orang terhadapnya. Sebagian orang yang ada dirumah sakit pasti sudah tidak asing dengan situasi seperti ini. Mereka pasti paham. Jika bukan Kirana. Pasti keluarganya-lah yang sakit atau meninggal hingga bereaksi seperti ini.
Begitupun dengan Kirana. Dia juga paham kenapa mereka hanya menonton. Tidak membantunya sama sekali. Itu karena, setiap orang yang ada di rumah sakit ini. Pasti mempunyai bebannya tersendiri. Entah mereka atau sanak saudaranya yang sedang sakit di sini. Mereka juga pasti sedang merasakan kecemasan dan ketakutan seperti dirinya.
"Pak Gundar," teriak Kirana pada polisi yang terakhir berbicara dengannya.
Gundar yang saat itu sedang menerima telepon. Segera melirik sumber suara. Begitu matanya mengenali orang yang memanggilnya. Gundar mengakhiri percakapan sepihak dan menutup sambungan telepon. Setengah berlari Gundar mendekati Kirana, sebab berjalan gontai.
"Mbak Kirana sudah siuman."
Gundar buru-buru menangkap pundak Kirana. Sebelum Kirana terjatuh ke lantai. Gundar lantas melepaskan jeratan tangan di pundak Kirana. Setelah Bian mengambil alih.
"Dimana keluarga saya pak?" tanya Kirana sambil tersengal-sengal.
"Mbak Kirana duduk dulu,” ujar Gundar.
"Apa benar keluarga saya tewas?. Saya tidak percaya dengan yang bapak katakan tadi. Bagaimana itu bisa terjadi?. Itu tidak mungkin terjadi," Kirana nyerocos tak menggubris ucapan Gundar sama sekali.
"Sebaiknya mbak Kirana istirahat saja dulu," ujar Gundar.
"Tidak pak. Antarkan saya sekarang. Saya mau memastikan siapa yang mengalami kecelakaan itu. Apakah benar keluarga saya atau bukan," ujar Kirana.
"Sabar Kirana," Bian berusaha menenangkan Kirana sebisanya.
"Bian, aku yakin itu bukan orang tuaku. Mereka pasti masih ada di Jakarta sekarang."
Bian diam tak bicara.
"Aku tidak percaya. Sebelum aku melihat mereka dengan mata kepalaku sendiri," ujar Kirana lagi sambil menatap Bian penuh harap. Tapi entah mengapa tak ada pijar asa di mata Bian. Yang tampak justru kesedihan, seakan membenarkan kejadian.
"Iya. Iya. Sebaiknya kamu tenang dulu."
"Benar. Mbak Kirana sebaiknya tenang dulu,” ujar Gundar.
Kirana mengalihkan pandangan pada Gundar.