Mata kami beradu, tangan kami berjabat, lalu ada hati yang mulai tertaut.
Canduku pada sorot mata dan senyumannya.
Menyadarkanku bahwa takdir telah menuliskan sesuatu untukku dan dirinya.
Suara Hati Kirana...
Untuk kedua kalinya. Kirana membuka mata dan melihat pria bermata indah ini masih setia menemaninya. Pria itu tertunduk sambil menggenggam tangan dirinya direkatkan tepat di depan kening sang pria.
"Bian," panggil Kirana.
Bian menengadah dan bangkit, langsung menarik tubuh Kirana dalam dekapannya. Seperti seorang ayah yang mendekap erat anak, yang baru terbangun dari bermimpi buruk. Awalnya Kirana terkejut. Tapi setelah mencium aroma parfum yang sudah tak asing lagi di indra penciumannya. Kirana tersenyum simpul di sela bahu lebar milik Bian.
"Apa kamu baik-baik saja Kirana?"
Kirana terdiam. Pertanyaan Bian barusan meleburkan kehangatan yang Kirana rasakan. Senyum di bibir Kirana menghilang, berganti dengan getaran kecil di sudut bibirnya. Air mata mengembeng di garis mata, lalu berguguran satu demi satu, hingga deras kemudian.
"Benarkah keluargaku meninggal?. Ini cuma mimpi kan Bian?" suara parau Kirana terdengar di sela isak tangisnya.
Bian tidak menjawab, hanya bisa mengelus rambut panjang Kirana. Bian tidak tahu harus menggunakan kalimat seperti apa untuk menjelaskan semuanya. Tak ada kata mujarab yang sekiranya dapat menenangkan hati Kirana. Apa pun kata dan kalimat yang dia pilih, pasti membuat Kirana semakin terluka.
Kirana meronta, menjauhkan tubuh dari dekapan Bian. Lantas mencengkeram tangan dan menatap mata hijaunya.
"Jawab Bian. Keluargaku baik-baik saja kan?"
Bian hening dalam diam. Hanya bisa memandangi mata Kirana yang berkilau oleh genangan air bening di dalamnya.
"Kenapa diam saja. Katakan sesuatu," Kirana memukul pundak Bian. Dia tak kuasa mengelak. Legowo menerima hantaman itu.
Kirana sadar bahwa kediaman Bian, nyata sebuah jawaban, yang membenarkan keluarganya kini telah tiada.
"Mamaaaah."
Kirana membenamkan wajah di kedua telapak tangannya yang gemetar. Air mata membanjiri seluruh telapak tangan dan wajahnya.
"Kirana....Kirana dengarkan aku."
Bian menelan rasa pedih yang menohok tenggorokannya. Tangis rasanya ingin dia ledakan juga bersama Kirana. Tapi bukan itu tujuan dirinya ada di sini. Dia ada untuk menemani dan memberi semangat. Bukan malah ikut-ikutan menangis dan membuat Kirana semakin terpuruk.
"Kirana," Bian mengguncang kedua pundak Kirana.
Kirana menjauhkan wajah dari kedua telapak tangannya yang basah. Lantas menatap wajah Bian yang mengabur di mata, terdistorsi air mata.
"Kamu harus tenang," ujar Bian.
Bian menguatkan cengkeraman di pundak Kirana. Berharap bisa memberi kekuatan padanya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kirana tiba-tiba berteriak histeris. Tak bisa mengendalikan luapan emosi kesedihan dan kemarahan dihatinya. Kirana meronta di atas kasur seperti orang yang kehilangan akal sehatnya.
"Aku ingin mati," teriak Kirana.