Saat keduanya sedang berbagi rasa. Tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita.
"Bian."
Serentak Kirana dan Bian melirik pada sumber suara. Mata Bian terbelalak, melihat wanita rapuh yang selama ini selalu mengurung diri di kamar. Tiba-tiba ada di depan matanya. Setengah berlari Bian menghampiri wanita yang tengah berdiri diambang pintu.
"Bunda. Bagaimana bisa bunda ada di sini?"
Bola mata Bian bergulir menyelidik setiap jengkal tubuh ibundanya. Betapa takutnya dia, mengingat kejadian satu tahun lalu. Setiap kali bundanya keluar rumah. Selalu berakhir dengan keadaan yang memilukan.
"Bunda tidak apa-apa?. Apa dia menyakiti ibu?" tanya Bian cemas.
Clara tersenyum simpul pada Bian. Senyuman yang sangat jarang Bian temukan di wajah ibundanya.
"Bunda baik-baik saja nak," sahut Clara
Clara meremas tangan Bian untuk menenangkannya.
"Lalu apa yang membawa bunda datang kemari?"
"Bunda tadi dihubungi pihak sekolah. Seorang staf TU mengabarkan kalau kamu pergi mengejar seorang siswi. Bunda khawatir dan langsung datang ke sekolah untuk memastikan kamu baik-baik saja."
"Hem," Bian mengangguk setuju.
"Lalu bagaimana bunda tahu Bian ada dirumah sakit?" tanya Bian heran.
"Setibanya di sekolah, bunda bertemu dengan pak Anto. Guru yang melihat kamu mengejar seorang siswi, bahkan tanpa pamit padanya. Pak Anto memberitahu ibu perihal kecelakaan yang menimpa keluarga Kirana.
"Bagaimana pak Anto tahu?"
"Pak Anto tak sengaja melihat SMS yang muncul dilayar Hp Kirana yang terjatuh di kelas. Isi pesannya menjelaskan detail kecelakaan dan rumah sakit tempat di mana keluarga Kirana sekarang berada."
"Oh. Seperti itu rupanya," Bian mangut-mangut.
"Apa itu Kirana?" Clara memiringkan sedikit kepala, matanya bergulir melewati lengan Bian dan menemukan tatapan Kirana.
"Benar."
Bian memutar tubuh menunjukkan Kirana pada ibundanya. Sementara Kirana tertegun menatap wanita cantik yang dipanggil bunda oleh Bian.
"Benar, keduanya memiliki garis wajah yang serupa. Sorot mata wanita itu terlihat sama dengan tatapan hangat milik Bian. Yang membedakan dari keduanya adalah warna iris mata. Iris mata wanita berparas oriental itu berwarna hitam pekat. Sedangkan milik Bian berwarna hijau pekat. Dari mana Bian mendapatkan iris mata cantik itu," gumam Kirana dalam hati.
Bian beralih ke belakang tubuh Clara, mendorong tubuh Clara pelan untuk mendekat pada Kirana.
"Perkenalkan ini bundaku Kirana," ujar Bian.
"Halo Kirana. Clara ibunya Bian."
Suara lembut dan uluran tangan wanita cantik di hadapannya, menyadarkan lamunan Kirana. Matanya mengerjap beberapa kali, kemudian membenahi posisi duduknya supaya terlihat lebih sopan.
"Oh....Saya Kirana tante, teman sekelas Bian," Kirana menjabat tangan halus Clara.
"Kamu sudah baikkan?" tanya Clara.
Kirana mengangguk pelan, masih menatap wajah cantik Clara.
"Tante ikut berduka sayang."
Clara duduk di pinggir ranjang tepat di samping Kirana. Lalu meraba pipi Kirana dengan lembut, penuh kasih sayang. Seketika kepedihan yang Kirana rasakan menghilang dari hatinya.
"Iya tante, terima kasih," Kirana tersenyum seadanya.
"Kamu harus kuat dan tegar. Jangan takut. Jangan sedih. Ada tante sama Bian," Clara masih mengelus pipi Kirana dengan halus.
Kirana mengangguk mendengarkan setiap kata demi kata yang diucapkan wanita cantik di hadapannya. Lalu muncul satu desakan pedih dalam hati yang membuat bibirnya bergetar menahan tangis.
"Kemari nak."