Siapa yang tahu jalan ceritanya.
Pagi ini, kami baru saja bersitatap dan berjabat tangan.
Lantas disiang hari, tanpa aku duga, kami melingkarkan janji kelingking yang sakral.
Janji yang bagiku seperti air di tengah dahaga. Seperti hujan di kemarau panjang.
Seperti awan di tengah terik. Sangat berarti dan kubutuhkan....
Suara Hati Kirana....
Bendera kuning berkibar menyambut kedatangan tiga mobil jenazah yang membawa keluarga Kirana. Bian keluar dari mobil, lalu menengadahkan tangan pada Kirana. Seperti seorang putri yang turun dari kereta kencana, dibantu oleh sang pangeran tampan. Seulas senyum mengembang di sudut bibir Kirana, saat menerima uluran tangan Bian.
Bian merangkul pundak Kirana, menapaki paping block persegi delapan, yang tertanam di atas tanah basah. Di luar gerbang rumah terlihat deretan kursi sudah tersusun rapi. Dimana hampir setengahnya telah terisi oleh para pelayat yang ingin mengucapkan belasungkawa dan doa bagi orang yang telah meninggal dunia.
Serentak seluruh pelayat berdiri. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang berlari menghampiri mobil, untuk membantu petugas rumah sakit menggotong jenazah. Saat peti jenazah keluarga Kirana dikeluarkan. Semua orang tampak berkaca-kaca. Ada pula yang langsung menitikkan air mata.
Diantara para pelayat yang menggotong peti jenazah. Kirana melihat salah satu sahabat terdekat, sekaligus rekan kerja ayahnya. Dia menangis dan menatap nanar Kirana. Membuat Kirana menciutkan pundak merasakan kesedihannya kembali. Pria itu mengangguk, dibalas anggukan pula oleh Kirana.
Seluruh rombongan melangkah perlahan memasuki rumah duka. Dari balik pintu gerbang rumah, seseorang berlari menghampiri Kirana. Matanya bengkak dan dengan suara parau berkata terbata-bata.
"Non kenapa atuh bapa sama ibu teh. Kenapa mendadak begini. Duh gusti," ujar Bi Siti sambil meraba-raba pipi Kirana.
"Bibi."
Kirana meringis seraya menekan dada, merasakan sayatan kecil di hati. Jika diingatkan kembali pada ayah, mamah dan adik kecilnya. Airmata yang sempat terhenti, kembali berjatuhan tak terkendali. Kirana menangis tersedu-sedu dalam pelukan erat Bi Siti. Yang telah dianggapnya sebagai keluarga. Hubungan keduanya bukan lagi sekedar majikan dan asisten rumah tangga. Tapi ikatan diantara mereka melebihi kentalnya ikatan persaudaraan itu sendiri. Untuk itulah, Kirana tak sungkan memeluk atau mencium Bi Siti, begitu pun sebaliknya.
Bian dan Clara bisa melihat kedekatan keduanya. Pelukan mereka tampak begitu tulus dan ikhlas. Tanpa ada kesungkanan sama sekali. Terisak-isak keduanya menangis saling meluapkan kesedihan. Rasanya tak ada satu orang pun disana, yang sanggup tidak menitikkan air mata, melihat pemandangan yang begitu memilukan ini.
Bagi Bian dan Clara pemandangan ini tak hanya mengharukan, tapi juga melegakan. Setidaknya mereka tahu Kirana tak benar-benar sendiri. Ternyata ada seseorang yang menemani dan akan menjaga Kirana.
"Kenapa tidak menghubungi bibi saat di rumah sakit?" tanya Bi Siti.
"Kirana tidak mau merepotkan bibi."
"Non. Non. Kaya ke siapa saja kamu teh."
"Maaf Bi."
"Ya sudah kita masuk ke rumah," ajak Bi Siti.
Sebelum melangkah, Kirana menarik tangan Bi Siti untuk memperkenalkannya pada Bian dan Clara.
"Tunggu Bi."
Bi Siti mengikuti arah tatapan Kirana. Dan menilik satu demi satu orang yang sedang di tatap Kirana.
"Bi. Ini tante Clara yang tadi menghubungi Bi Siti. Dan ini. Bian teman sekelas Kirana, sekaligus putranya tante Clara," Kirana menunjuk Clara kemudian Bian.
"Oh Bu," Bi Siti mengangguk sungkan kepada Clara dan Bian.
"Saya Clara yang menghubungi Bi Siti tadi," ujar Clara seraya tersenyum.
Bi Siti menggenggam tangan Clara sambil berurai air mata.
"Terima kasih Bu Clara sudah menemani non Kirana."
Clara dan Bian tertegun melihat tatapan Bi Siti saat itu. Sorot matanya dipenuhi rasa syukur dan lega. Laiknya seorang kerabat yang menunjukkan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah membantu anak atau saudaranya. Bukan lagi sebagai seorang asisten rumah tangga yang mengkhawatirkan anak majikannya.
"Tidak apa-apa Bi. Terima kasih juga sudah mengurus semua pemakamannya," ujar Clara seraya membalas genggaman tangan Bi Siti.
"Bibi sudah menganggap keluarga non Kirana seperti anak sendiri. Jadi semua ini adalah kewajiban bibi," sahut Bi Siti terbata.
"Syukurlah kalau seperti itu Bi," sahut Clara lega.
"Ayo kita masuk buk," Bi Siti menarik tangan Clara untuk mengikutinya ke dalam rumah. Namun Clara menjerat tangan Bi Siti, membuat langkahnya kembali terhenti.
"Bibi. Kirana," panggil Clara pada keduanya.
Bi Siti dan Kirana berbalik.