"Arsyad pelakunya," teriak Bian.
Lucas menghentikan langkah, tepat saat tangannya akan membuka engsel pintu. Dahinya berkernyit mendengar nama orang kepercayaannya tiba-tiba disebut oleh Bian. Lucas berbalik, lantas menatap Bian yang masih bersimpuh di samping istrinya.
"Arsyad?" tanya Lucas.
"Entah ini suatu kebetulan atau takdir. Ternyata kecelakaan yang dialami Arsyad adalah kecelakaan yang sama dengan kecelakaan yang menimpa keluarga teman sekelasku itu," ujar Bian.
Clara menatap satu sisi wajah Bian yang menatap sinis ayahnya. Dahi Clara berkerut menebak ke mana arah pembicaraan suami dan anaknya itu.
"Apa Arsyad yang menyebabkan kematian keluarga Kirana?" tanya Clara.
Clara mencengkeram tangan Bian. Firasat buruk tiba-tiba menyeruak dalam hati. Begitu nama Arsyad disebut oleh anaknya. Clara tahu kalau Arsyad adalah salah satu anak buah Lucas, yang sanggup melakukan apa pun yang diperintahkan oleh atasannya itu. Bahkan tidak mustahil baginya melakukan perbuatan keji seperti yang Bian katakan barusan.
Bian memejamkan mata, menyadari telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya ingin dia sembunyikan dari Clara. Bian sebenarnya ingin mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Lucas. Tapi mendengar ancamannya barusan. Bian kehilangan kendali dan kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Bian melirik pada Clara. Tentunya setelah merubah sorot mata. Yang tadinya menatap sinis Lucas. Menjadi sorot mata yang menunjukkan semuanya baik-baik saja. Seolah tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan. Namun terlambat. Clara terlanjur menangkap sorot mata Bian.
"Bian belum yakin bunda. Semoga saja semua ini hanya kesalahpahaman," Bian tersenyum seadanya.
"Ceritakan apa yang terjadi dan apa yang kamu ketahui nak. Jangan berbohong pada bunda."
"Bian akan ceritakan. Tapi sekarang Bian harus bicara dulu sama ayah untuk memastikan kebenarannya. Sementara itu, bunda sebaiknya menunggu di kamar."
Bian menggenggam pundak dan menyeka darah di bibir ibundanya. Clara menggelengkan kepalanya. Bagaimanapun dia adalah seorang ibu. Dia tidak mungkin meninggalkan anak dan suami yang baru saja bertengkar hebat.
"Bian tidak akan bertengkar dengan ayah. Bian hanya mau memastikan saja," Bian mengangguk kecil untuk meyakinkan Clara.
"Bunda takut kalian akan saling menyakiti," ujar Clara cemas.
"Itu tidak akan terjadi bunda. Bian janji."
Clara tidak menjawab, hanya menatap mata anaknya.
"Bibi," teriak Bian memanggil salah satu pembantu dirumah-Nya.
Seorang pembantu datang dari balik pintu. Langkahnya sempat ragu menyadari pertengkaran hebat sedang terjadi disana. Namun setelah Bian melambaikan tangan padanya. Bi Anis menghampiri Bian dengan wajah ketakutan.
Meski pertengkaran antara anak dan ayah ini kerap terjadi. Tidak pernah ada yang terbiasa. Para pembantu, bahkan Clara sekalipun masih saja ketakutan, setiap kali anak dan ayah ini bersitegang.
Bi Anis memapah Clara yang meringis menahan sakit di tubuhnya. Clara sempat memohon pada Bian untuk tetap menemaninya. Namun Bian tidak menggubrisnya. Dia justru menyuruh bi Anis segera membawa Clara ke kamarnya. Pada akhirnya Clara hanya bisa pasrah mengikuti kemauan anaknya.