Setelah diseret dan didorong sekuat tenaga oleh bawahan Lucas. Bian akhirnya terpaksa masuk ke dalam kamar, hanya untuk meredam emosi Lucas yang tak terkendali. Bian bukannya takut dan tidak bisa melawan. Dia hanya tak sanggup menandingi dua orang sekaligus. Coba saja mereka maju satu per satu. Bian pasti sanggup mengalahkan mereka.
Bian menonjok pintu kamar dengan keras untuk meluapkan emosi yang membakar dadanya.
“Brengsek," teriaknya.
Bian menyenderkan tubuh ke pintu. Matanya menatap tajam jendela kamar, yang menghadap langsung ke halaman rumah. Bian melangkah dan mengamati sekitarnya. Benar. Lucas lagi-lagi memerintahkan anak bawahannya untuk berjaga-jaga di bawah.
Bian menyunggingkan bibirnya. Menganggap semua ini sudah biasa baginya. Bian tidak khawatir, karena dia tahu jalan keluar untuk kabur dari rumah. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
Sebelum pergi, Bian berganti baju dan memasukkan seragam baru ke dalam tasnya, untuk berjaga-jaga jika dia tidak pulang malam ini. Dan harus pergi ke sekolah dari tempat lain. Entah itu dari rumah Riko sahabatnya. Atau dari pak Darmo salah satu sopir Lucas yang selalu membantunya.
Setelah selesai, Bian membuka pintu balkon dan berdiri di tepian pagar. Baru saja hendak mengambil ancang-ancang untuk menelusuri pipa air yang melekat pada dinding. Bian melihat bawahan Lucas sedang menatap tajam ke arahnya. Dia tersenyum sambil melipat tangan di dada.
Bian sedikit terkejut melihat bawahan ayahnya kali ini terlihat berbeda. Dia laiknya anggota gangster, mafia atau sejenisnya. Dia mengenakan setelah hitam, di salah satu punggung tangannya terukir tato berlambang binatang dan rambut panjangnya di kucir kuda.
“Sial," gumam Bian.
Bian menegakkan tubuh senatural mungkin supaya terlihat tidak mencurigakan. Dan terpaksa harus kembali ke dalam kamar. Bian duduk di pinggir tempat tidur dan melihat jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah tidak ada waktu lagi. Dia harus segera keluar untuk menepati janjinya pada Kirana.
Bian mengintip keluar jendela dari sela gorden. Kali ini keberuntungan sedang memihak padanya. Bi Anis tiba-tiba datang membawa minuman dan camilan untuknya. Bian tersenyum tipis di balik gorden yang tersinari cahaya senja. Tak ingin membuang kesempatan emas itu. Bian perlahan membuka pintu balkon. Secepat kilat dia menapaki pipa air yang menempel di dinding. Kemudian melompat di satu sudut taman. Bian berjongkok sebentar mengamati gerak gerik pengawal itu.
“Sekarang," gumam Bian, saat pengawal itu membelakangi, karena asyik berbincang-bincang dengan Bi Anis.
Bian berlari sambil menunduk menelusuri dinding sampai satu sudut tembok taman. Di sudut itu tumbuh pohon besar dan rindang. Dengan cekatan Bian menaiki pohon dan dalam sekejap sudah bertengger di salah satu dahan, yang menjorok ke luar tembok. Bian mengambil tambang panjang yang sengaja dia sembunyikan di balik dedaunan. Dia regangkan tali, kemudian mencondongkan tubuh sambil menuruni tembok rumah. Perlahan, selangkah demi selangkah Bian menapaki tembok vertikal, supaya tidak terpeleset dan membuat kegaduhan.
Sampai ketinggian kurang lebih satu meter. Bian melompat dan mendarat tepat di atas rumput. Dengan hati-hati Bian menyembunyikan untaian tambang di sela tembok yang tidak terlihat. Tambang inilah yang menjadi jalan pulangnya nanti.
Bian celingukan ke kiri dan ke kanan. Memastikan pak satpam ataupun bawahan ayahnya tidak ada disana. Setelah dirasa aman, Bian berlari sekencang-kencangnya menuju pangkalan ojek terdekat. Dia mengarahkan mamang ojek ke rumah sakit untuk mengambil motor yang dia tinggalkan tadi. Barulah dari sana, Bian menggeber motor menuju rumah Kirana
****
Rombongan jenazah tiba di pemakaman. Kirana menghentikan langkah tepat di gerbang pintu masuk. Matanya menyapu 360 derajat, mencari seseorang yang berjanji akan datang. Bukan saudara atau sahabat. Kirana justru mencari seseorang yang baru dia kenal pagi ini. Dia adalah Sabian, pria yang telah membuat janji kelingking sakral dengannya. Namun sejauh matanya memandang, sosok yang di harapkan itu tak kunjung datang.
“Mencari siapa non?" tanya Bi Siti, ikut celingukan ke kanan dan ke kiri mencari objek yang dia tidak tahu.