Malam semakin larut, sunyi mulai merayap, hanya isak tangis Kirana yang sesekali terdengar memecah keheningan. Bian melirik 90 derajat pada gadis yang duduk disamping-Nya. Gadis itu meringkuk membenamkan kepala ke sela kaki yang dipeluknya.
Bian sengaja memberikan waktu pada Kirana untuk meluapkan seluruh rasa sedihnya. Berharap tangis bisa mengurangi rasa sesak yang mengimpit dadanya. Bian sadar bahwa di dunia ini tak ada yang sanggup membantu Kirana. Tak ada yang bisa menghilangkan rasa sakitnya. Rasa sakit kehilangan keluarga itu berbeda dari kesedihan lainnya. Sakitnya tidak bisa hilang hanya dengan sekejap mata. Bahkan waktu pun di sini tak akan banyak membantu. Penderitaan itu akan terngiang-ngiang selamanya.
Perihal tangis itu hanyalah luapan emosi, untuk melampiaskan perasaan pilu yang menyerang dada. Setidaknya setelah lelah menangis, biasanya muncul suatu perasaan lega. Dan akal sehat mungkin akan kembali bekerja. Perihal sakitnya, itu akan tetap ada. Seperti penyakit yang bisa kambuh kapan saja.
Hanya diri sendirilah yang bisa mengobati dan mengontrol emosi itu. Diri kita sendiri yang tahu persis, kapan harus berhenti meratapi dan kapan mulai menjalani hidup kembali. Atau justru terus menerus jatuh pada jurang kesedihan tak bertepi. Itu adalah pilihan.
Nah kita sebagai orang terdekatnya. Hanya bisa menemani dan mengarahkan hatinya. Untuk memilih jalan mengikhlaskan dan kembali menata kehidupan. Jangan pernah berhenti memberikan dia semangat dan keceriaan. Supaya dia tidak merasa sendiri dan kembali larut dalam kesedihan.
Malam itu, Bian menemani Kirana yang duduk di atas karpet tebal. Keduanya bersender pada satu sisi tempat tidur, yang menghadap langsung ke arah pintu balkon yang terbuka. Bian dan Kirana duduk dalam kegelapan malam, hanya di sinari cahaya bulan purnama, yang bersinar sangat lantang. Persis seperti lampu sorot yang menyinari dua pemeran utama di atas panggung drama.
Bian mengelus rambut panjang Kirana yang terurai di punggungnya. Tak disangka Kirana yang tertunduk memutar kepala menatap padanya. Kedua matanya terlihat sangat bengkak. Setelah seharian tak henti-henti meneteskan air mata. Namun kali ini, Bian tak melihat ada aliran air di pipinya. Mungkin sudah terkuras habis hingga benar-benar tak tersisa.
Bian duduk mengesot mendekat pada Kirana. Lalu nyengir seperti kuda. Ah. Syukurlah. Kirana ternyata membalas. Seulas senyum manis mengembang di wajah sendunya.
"Nah begitu dong senyum. Jadi tambah cantik," goda Bian.
Bian berharap guyonannya itu bisa menghibur Kirana. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kirana kembali membenamkan kepalanya.
"Eh. eh maaf Kirana. Jangan sedih lagi dong. Aku cuma bercanda."
Bian menyesal dan menoyor kepalanya sendiri. Di tengah penyesalan itu. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang membuat Bian mematung. Suara itu terdengar begitu nyaring seperti bunyi kodok. Bian melotot menyadari suara itu berasal dari perut Kirana yang keroncongan. Bian jadi ingat kalau mereka berdua belum makan seharian.
"Kodok berisik banget," goda Bian.
Bian pura-pura mencari sang kodok di halaman, untuk mengalihkan rasa malu Kirana. Tapi dari sudut mata, Bian melihat Kirana cemberut menatapnya. Bian semakin serba salah, spontan beranjak dan mengambil nampan berisi makanan di atas meja.
Pipi Kirana memerah menahan rasa malu. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya, di dekat seorang pria tampan. Dia justru terlihat menyedihkan dan memalukan. Wajahnya mengerut menahan rasa malu. Tapi melihat tingkah konyol Bian. Seulas senyum mengembang di bibir Kirana tanpa sepengetahuannya.
Saat Bian kembali duduk dan menyodorkan nampan makanan padanya. Kirana segera menyembunyikan senyuman itu dan berpura-pura menatap bulan di langit sana.
"Makan Kirana," ujarnya, sambil nyengir.
Kirana menggelengkan kepala tanpa melihat Bian sama sekali.
"Kamu harus makan. Kasihan itu anak Konda. Eh bukan. Kodok sudah pada demo," ledek Bian, berusaha mencairkan suasana.
"Aku enggak mau makan Bian."
"Coba beberapa suap saja," Bian menyodorkan satu sendok nasi dan telur dadar ke hadapan Kirana.
"Aku enggak nafsu makan."
"Kamu mungkin enggak nafsu. Tapi bagaimana dengan cacing di perutmu."
"Memang perutku kebun binatang. Ada kodok, anak Konda, sekarang cacing segala," Kirana melirik pada Bian dengan tatapan sinis.
Mulut Bian mengangga, tak menyangka gadis di hadapannya akan bicara sepanjang itu. Mengingat sedari pulang dari pemakaman, tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya.
"Terus apa dong yang ada dalam perutmu. Jangkrik?" godanya lagi.
"Terserah," sahut Kirana sambil cemberut.
"Hem. Begitu saja marah."
"Tahu ah."
"AAAAAAAA," Bian membuka mulutnya lebar-lebar, sambil menyodorkan satu sendok nasi pada Kirana.
"Aku enggak mau makan Naendro Sabian," mata Kirana melotot.
"Hem."
Bian menghela napas panjang, lalu memutar bola mata memikirkan sesuatu.
"Ya sudah, tidak usah di makan. Aku akan kembalikan pada Bi Siti. Kasihan tahu Bi Siti sudah cape-cape masak."
Kirana tidak menggubris ocehan Bian. Masih setia menatap sang rembulan.
"Kamu tunggu di sini ya. Jangan kabur. Soalnya sudah malam," ujar Bian sebelum keluar kamar untuk menemui Bi Siti, yang terlihat masih beres-beres rumah.
"Bi," panggil Bian
"Eh Kunti. Kunti."
Tubuh bi Siti tersentak dan melemparkan kain lap pada Bian. Spontan Bian ikut berteriak dan melempar nampan ke atas meja makan. Beruntung nasi dan lauk pauknya tidak sampai tumpah ke lantai.
"Kunti mana Kunti," teriak Bian, sambil celingukan mencari keberadaan makhluk halus yang belum pernah dia jumpai itu.
"Eh si den Bian ngagetin saja."
Bi Siti menepuk pundak Bian yang sekarang membelakanginya. Sepersekian detik setelahnya, Bian baru tersadar kalau mereka terkejut karena satu sama lain. Bukan karena keberadaan makhluk astral itu. Bian berbalik menghadap Bi Siti.
"Kaget Bi?" tanya Bian.
"Pake nanya. Kirain Bi Siti hantu," Bi Siti mengeplak keras tangan Bian.
Bian meringis menahan sakit. Lalu menggosok area panas hasil gebukan ema-ema satu ini.
"Makanya jangan melamu. Lagian jam segini masih beres-beres. Kaya enggak ada hari esok saja."
"Sudah kebiasaan den. Jadi besok bibi enggak terlalu gedebak-gedebuk kerjanya."
Bian mengangguk sambil memonyongkan mulutnya.
"Loh kok belum dimakan?" Bi Siti melirik nampan yang di bawa Bian.
"Katanya enggak nafsu makan. Tapi cacing diperutnya bunyi kenceng banget."
Dahi Bi Siti berkerut mendengar penjelasan Bian.
"Terus kenapa dibawa ke bawah. Bukannya disuruh makan."
"Sudah Bian paksa Bi. Tapi tetap enggak mau."
"Terus bagaimana?" tanya Bi Siti cemas.
"Bian mau masak sesuatu buat Kirana," Bian nyengir kaya kuda.
"Masak apa?. Memang den Bian Bisa masak?"
Dahi Bi Siti semakin berkernyit. Tak percaya dengan kemampuan masak Bian
"Masak mie instan mah gampang," sahut Bian sambil menjentikkan jari tangan.
"Haaah mie instan?," mulut Bi Siti menganga.
"Kata orang mie instan itu penyelamat. Saat bencana misalnya. Yang pertama dijadikan bantuan apa coba Bi?" Bian mulai main tebak-tebakan dengan Bi Siti.
"Beras."
"Terus."
"Mie instan," jawaban spontan Bi Siti.
"Benar. Mie instan," Bian menegakkan jempol pada Bi Siti.
"Terus, memang kita lagi kena bencana?" Bi Siti mengerutkan kening.
"Bukan, kita mah cuma lagi berduka bukan bencana."
"Jadi bagaimana Den. Bibi enggak paham," kerutan dahi Bi Siti terlihat semakin dalam.
"Dengar dulu. Jadi Bi, selain bencana banjir atau longsor. Saat terjadi wabah penyakit. Orang akan berbondong-bondong membeli mie instan untuk persediaan. Kenapa coba bi?" petunjuk kedua dari Bian
"Mudah didapat," jawab Bi Siti.
"Karena mie instan itu tahan lama dan mudah di dapatkan. Contoh lain, saat orang liburan ke pantai atau ke gunung yang udaranya dingin. Mie instan yang pertama dicari. Kenapa coba Bi?" petunjuk ketiga dari Bian.
"Murah-murah den," Bi Siti serius menanggapi Bian.
"Seratus buat bibi. Benar. Mie instan itu selain murah, gampang dibuat juga mengenyangkan. Saat orang kelaparan, mie instan bisa jadi penyambung hidup. Malah bagi kaum kos-kosan, mie instan itu harta berharga. Pokoknya mie instan itu yang terbaik Bi. Bisa dinikmati kapan saja. Bisa pagi, siang, sore, lagi cuaca dingin ataupun cuaca panas.
"Ohhh," Bi Siti mangut-mangut masih mencari inti dari pembicaraan Bian.
"Ini nih Bi yang terpenting dari mie instan. Apa coba?"
Bian memberikan jeda pada Bi Siti untuk menebak. Tapi melihat wajahnya yang melongo, sepertinya tidak ada ide lain dikepala Bi Siti. Akhirnya Bian melanjutkan penjelasannya.
"Aroma dahsyat mie instan itu adalah aroma surgawi. Begitu aromanya terhirup oleh hidung. Kita otomatis akan menelan ludah dan membayangkan kenikmatan mie instan itu. Perut akan langsung berkontraksi. Alias keroncongan. Di dunia ini, tak ada satu manusia pun yang bisa menolak aroma mie instan. Mau pejabat, artis, orang kaya, guru, dokter, bahkan presiden sekalipun Bi."
Anggukan Bi Siti makin kencang menanggapi penjelasan Bian.
"Nah oleh sebab itu. Bian akan memasak mie instan. Berharap aromanya bisa membangkitkan nafsu makan Kirana. Lebih baik makan mie instan, dari pada perutnya tidak terisi sama sekali," lanjut Bian.
"Ooooooooh begitu."
Bi Siti akhirnya berhasil menangkap intinya. Meski cuma kata aroma saja yang dipahaminya.
"Memang enggak apa-apa den makan mie. Non Kirana belum makan dari tadi pagi?" tanya Bi Siti.
"Daripada enggak makan sama sekali Bi," tutur Bian.
"Oh iya benar den. Kamu sudah ganteng, pintar lagi," Bi Siti mencubit pipi Bian.
Bian meringis merasakan sengatan di pipinya.