Bel terakhir sekolah berbunyi. Siang itu, Bian tidak langsung pergi ke rumah Kirana. Melainkan pergi ke rumah sakit untuk mencari jawaban atas kecurigaannya.
Di ambang pintu ruang mawar. Bian menatap tajam Arsyad yang sedang terbaring. Tangan dan kakinya yang patah kini telah dipasang gips penyangga tulang. Arsyad termenung menatap langit-langit rumah sakit. Sampai-sampai tak menyadari kedatangan Bian.
"Bagaimana keadaanmu?"
Arsyad terkejut mendengar suara Bian. Lalu menghela nafas menyadari yang datang adalah anak majikannya.
"Apa kau tidak punya mata. Kau bisa lihat keadaanku sekarang," sahut Arsyad ketus.
"Seharusnya kau mati juga," ujar Bian.
"Kenapa kemari?" tanya Arsyad.
"Berikan aku alasan yang masuk akal. Mengapa kecelakaan ini terjadi."
"Alasan masuk akal seperti apa maksudmu. Apa kecelakaan bisa di prediksi."
"Jika itu kecelakaan yang di sengaja. Tentu saja bisa," ujar Bian
"Dengarkan aku Bian. Malam itu, aku kelelahan, sampai-sampai ketiduran saat mengemudi. Begitu tersadar, aku terkejut melihat mobil oleng ke kanan. Spontan aku menginjak rem. Tahu-tahu sebuah mobil menghantam keras mobilku dari belakang."
Bian tersenyum mendengar alasan yang diungkapkan Arsyad barusan.
"Apa kau pikir aku percaya dengan alasan itu."
"Kau pikir aku berbohong?" Arsyad menatap tajam Bian.
"Kau tidak mungkin melakukan kecerobohan seperti itu."
Bian menopang dagu di atas kasur tepat di samping wajah Arsyad. Membuat wajahnya kini tinggal beberapa cm saja dari wajah Arsyad. Orang yang lewat tidak akan menyangka kalau keduanya sedang berselisih dan bersitegang. Keduanya terlihat begitu akrab. Seperti saudara atau teman dekat.
"Aku mendengar percakapanmu dengan ayahku kemarin. Aku yakin kecelakaan ini ada kaitannya dengan itu," bisik Bian di telinga Arsyad.
Kali ini Bian menatap lantang bola mata Arsyad. Sorot matanya menunjukkan suatu kegusaran, yang tidak bisa dia sembunyikan.
"Kenapa?. Apa yang aku katakan itu benar?" tanya Bian.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu?" sahut Arsyad.
"Pinjaman bank. Apa itu alasannya?"
Arsyad menelan ludah, mulai merasa cemas. Namun dia berpura-pura tidak mengerti dengan pernyataan Bian barusan.
"Aku masih tidak mengerti maksudmu."
"Apa aku harus bilang pada polisi perihal hubungan korban dengan ayahku?"
Arsyad terbelalak mendengar ancaman Bian. Arsyad tahu jika Bian orang yang tidak pernah main-main dengan setiap perkataannya.
"Dengarkan aku Bian. Ayahmu tidak ada kaitannya dengan ini."
"Pembohong."
"Aku bersumpah."
"Kau adalah tangan kanannya. Bagaimana mungkin aku percaya. Kalau dia tidak ada hubungannya dengan kasus kecelakaan ini."
"Dia benar-benar tidak tahu Bian."
Arsyad menarik kerah baju Bian. Cengkeraman tangan kirinya masih terasa kuat. Meski tangan kanannya patah.
"Apa yang kau ingin ketahui?" tanya Arsyad.
"Kebenaran."
"Kau jangan bertindak gegabah Bian. Karena ini menyangkut hidup banyak orang." ujar Arsyad.
"Jadi benar ayahku ada hubungan dengan kecelakaan ini."
"Sudah aku katakan ayahmu tidak tahu-menau."
"Bagaimana bisa?"
"Ini kemauanku sendiri." Arsyad menatap serius Bian.
****
Satu hari sebelum kecelakaan terjadi.
Lucas pergi ke Jakarta bersama dengan beberapa orang anak buahnya, Arsyad termasuk di dalamnya. Hari itu Lucas mempunyai dua tujuan pergi ke Jakarta. Pertama, Lucas akan menghadiri rapat dengan para pimpinan bank yang akan memberikan pinjaman uang padanya.
Kedua, Lucas akan menjemput paksa Bian yang kabur dari rumah dan tinggal bersama pamannya di Jakarta. Sebulan lalu Bian dikeluarkan dari sekolah karena sering bolos.
Lucas telah mempersiapkan segalanya. Mulai dari pendaftaran sampai seluruh kebutuhan anaknya. Jadi besok Bian mau tidak mau harus masuk ke sekolah barunya di Bandung.
Pukul 10:00 WIB Lucas tiba di Jakarta. Dia beserta bawahannya mendatangi salah satu bank terbesar di Indonesia. Kedatangannya adalah untuk melakukan negosiasi dengan para petinggi bank yang menangani perkreditan di bank tersebut. Rapat berjalan alot dan berakhir pukul 14:00 WIB.
Setelah rapat selesai. Lucas langsung meluncur ke kediaman adiknya. Untuk menjemput paksa anaknya pulang ke Bandung. Akan tetapi saat itu, Bian tidak ada dirumah. Dia pergi bermain dengan keponakannya Anggara.
Sepanjang jalan pulang. Bian tidak merasakan firasat apa pun. Dia dengan tenangnya masuk ke dalam pekarangan rumah. Bian baru terkejut setelah melihat dua mobil yang dikenalinya terparkir disana. Bian mematung melihat empat orang menatap tajam padanya.
"Pasti ayahmu Bian," ujar Anggara.
"Hem. Kau masuklah dulu," ujar Bian.
"Baiklah. Aku mengerti."
Anggara melewati empat orang berjas hitam seperti bodyguard. Bian melihat seseorang tersenyum sinis padanya. Dia adalah Arsyad tangan kanan ayahnya. Bian menyunggingkan bibir membalas senyum Arsyad. Bian mundur perlahan, hendak melarikan diri.
"Percuma kau lari," ujar Arsyad.
Bian tersenyum jahil. "Kita lihat saja," sedetik kemudian, Bian berbalik dan berlari menuju gerbang rumah.
"Kejar dia," perintah Arsyad pada dua rekanya, termasuk dirinya pun ikut mengejar.
Seluruh bawahan Lucas serentak mengejar. Satu orang berhasil menjerat tangan Bian, membuat langkahnya terhenti. Tapi jeratan itu berhasil terlepas. Dari belakang giliran Arsyad menarik kasar pundak Bian, hingga tubuhnya berbalik. Dengan sigap, Bian menghempas keras tangan Arsyad yang mencengkeram pundaknya. Tangan Arsyad terlepas. Bian berbalik kembali untuk berlari. Tapi Arsyad berhasil menendang lutut keras Bian dari belakang. Hingga satu kaki Bian berlutut. Sementara kaki yang satunya berhasil menahan tubuhnya.
Tak mau kalah, Bian berputar menyleding kaki Arsyad, membuatnya terjungkal. Namun dengan mudahnya Arsyad kembali bangun. Kemudian melempar sepatu miliknya tepat mengenai punggung Bian. Langkah Bian sempoyongan dihantam keras sepatu Arsyad. Momen itu dimanfaatkan oleh kedua teman Arsyad untuk menangkap tangan Bian. Bian sempat memberontak. Namun Arsyad menjambak rambut. Membuat Bian tidak bisa berkutik lagi.
"Lepaskan anjing."
"Dasar lemah," Arsyad tersenyum nyeleneh.
"Beraninya keroyokan. Sini lawan satu-satu kalau berani. Setan."
"Jangan banyak bicara kau," sahut Arsyad.
"Bawa ke dalam," perintah Arsyad kepada dua temannya.
Bian diseret paksa ke dalam rumah. Kedua kakinya di tendang, membuat Bian berlutut di hadapan ayahnya. Lucas berdiri dan mendekat pada Bian. Lucas menengadahkan dagu Bian. Kedua mata hijau itu bersitatap penuh emosi.
Plaaaak.
Lucas mendaratkan satu tamparan keras tepat di pipi Bian. Alex berdiri untuk menenangkan Lucas.
"Cukup kak," ujar Alex
"Diam kamu Alex. Anak ini harus diberi pelajaran."
Alex diam, bukannya takut. Tapi Alex tahu, jika dirinya membantu. Bukannya meredakan amarah, justru akan menyulut emosi Lucas.
"Besok kau mulai sekolah di Bandung," ujar Lucas pada anaknya.
Bian berdengus sambil menatap sinis ayahnya.
"Lakukan sesuka ayah. Aku tidak peduli."